Aiyub mengatakan, penetapan halal dilakukan oleh MUI karena berdasarkan ketentuan fiqih qadha’i. “Ketentuan fiqih qadha’i, yaitu harus bersifat final dan berada di level aturan negara. Aturan perundang-undangan, yaitu harus bersifat final dan berada di level aturan negara. Aturan perundang-undangan juga menuntut adanya legally binding,” kata Aiyub, dikutip dalam laman resmi MUI, Kamis (9/12)
Demikian pula dengan sertifikasi halal, kewenangan penetapan hukum halal produk atau fatwa, kata Aiyub harus diberikan kepada lembaga yang kompeten dalam bidangnya seperti Komisi Fatwa.
“Maka kewenangan ini tidak bisa dibagikan kepada siapapun. Hukum ini mengikat dan harus menghapus perbedaan. MUI merupakan rumah bernaung ormas Islam di Indonesia untuk menjembatani perbedaan-perbedaan ini,"ucapnya.
Selain Komisi Fatwa, dari sisi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), LPPOM MUI saat ini tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang menjalankan audit produk halal. Sudah ada tiga LPH yang saat ini sudah diakui oleh BPJPH Kementerian Agama.
Direktur LPPOM MUI, Muti Arintawati, menyampaikan berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Keputusan Menteri Agama Nomor 982, LPPOM tercatat sebagai salah satu dari tiga LPH di Indonesia yang telah terakreditasi.
“Berdasarkan regulasi tersebut, uji kelayakan beroperasinya LPH di Indonesia perlu akreditasi sesuai dengan yang telah ditetapkan. MUI juga terus menjalin komunikasi terbuka dengan LPH lain khususnya melalui program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) yang digaungkan BPJPH,” katanya.