Jakarta, FORTUNE - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, tata kelola penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang harus lebih serius. Kekacauan yang sempat terjadi dalam pelaksanaan haji tahun lalu maupun tahun ini, menurut lembaga itu, tidak boleh terulang kembali.
Penasehat Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef, Prof. Murniati Mukhlisin, menekankan bahwa pelaksanaan ibadah haji tahun 2026 tidak boleh lagi dilakukan setengah hati. Hal ini karena pemerintah sudah membentuk Badan Penyelenggara Haji.
“Jadi harus benar-benar serius. Jika hal ini tetap dilakukan, dampaknya bisa-bisa kuota haji Indonesia akan dikurangi oleh Pemerintah Arab Saudi,” ujar Prof. Murniati, dalam keterangannya, Selasa (19/8).
Ia menambahkan, kuota haji sangat dipengaruhi oleh kemampuan diplomasi pemerintah Indonesia dengan otoritas Arab Saudi. Pembatalan kuota haji Furoda bagi jemaah Indonesia bahkan dianggap sebagai cerminan lemahnya posisi tawar.
“Kuncinya memang terletak pada kemampuan negosiasi, terutama untuk haji dan umrahnya harus lebih kuat. Dengan adanya BP Haji, ada harapan besar bahwa tingkat negosiasi haji dan umrah akan menjadi lebih baik lagi,” katanya.
Selain kuota, Indef juga menyoroti aspek pengelolaan dana haji dan umrah. Menurut Prof. Murniati, akuntabilitas publik harus diperkuat karena dana tersebut bukan milik pemerintah, melainkan milik jutaan umat Muslim yang menitipkan dengan penuh amanah.
"Selama ini, informasi yang diberikan kepada publik bersifat terbatas dan teknokratik, sulit dipahami oleh masyarakat awam. Padahal dana haji bukan milik negara ataupun lembaga, melainkan milik jutaan rakyat Muslim yang mempercayakan pengelolaannya dengan penuh harap dan iman,” ujarnya.
Keterbukaan informasi, lanjutnya, adalah fondasi penting dalam membangun kepercayaan publik. Apalagi, dana haji dan umrah yang dikelola Indonesia kini berpotensi besar mendorong penguatan ekonomi umat. Namun, hambatan struktural dan kelembagaan masih mengganjal. Hingga 2025, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mencatat dana kelolaan mencapai Rp188,86 triliun.
Tak hanya itu, sekitar 4,2 juta tenaga kerja yang bergerak di sektor haji dan umrah—mulai dari travel, katering, logistik, hingga UMKM—juga bergantung pada sistem pengelolaan dana ini.
Sayangnya, investasi dana haji masih banyak ditempatkan pada instrumen konservatif seperti deposito syariah dengan keuntungan terbatas. Di sisi lain, biaya operasional haji pada 2024 tercatat defisit hingga Rp7,5 triliun.
Indef juga menyoroti koordinasi yang lemah antara Kementerian Agama, BPKH, dan operator haji karena tumpang tindih kewenangan. Lebih jauh, hingga kini belum ada roadmap nasional haji-umrah yang terintegrasi sampai 2045.
“Kami merekomendasikan agar pemerintah segera membentuk lembaga setingkat kementerian yang mengintegrasikan kebijakan regulasi, pelayanan, dan pengelolaan dana haji. Selain itu, investasi dana haji perlu diarahkan ke sektor riil yang berdampak tinggi, seperti real estat halal, rumah sakit syariah, dan energi bersih,” kata Prof. Murniati.