Sebelumnya, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melakukan kajian untuk menentukan fatwa halal atau haramnya bertransaksi aset uang kripto. Kajian ini dalam rangka merespons peningkatan perdagangan aset kripto di kalangan masyarakat. Meskipun fatwa tersebut belum dikeluarkan, dikarenakan kajian masih berjalan, dan masih dalam tahap proses.
Sekretaris Badan Pelaksana Harian (BPH) DSN-MUI, Prof. Jaih Mubarok, menjelaskan cryptocurrency merupakan mata uang digital yang dibuat melalui proses dengan teknik enkripsi yang dikelola jaringan peer to peer.
Hal ini termasuk dalam domain siyasah maliyyah yang eksistensinya bergantung pada ketentuan dan atau keputusan otoritas yang setidaknya memenuhi kriteria uang sebagaimana disampaikan Muhammad Rawas Qal‘ah Ji dalam kitab al-Mu‘amalat al-Maliyyah al-Mu‘ashirah fi Dhau’ al-Fiqh wa al-Syari‘ah.
Mengutip pendapat Qal‘ah Ji di atas yang menekankan aspek legalitas uang, Prof. Jaih menjelaskan, “Uang (nuqud) adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan lembaga pemegang otoritas,” katanya, dilansir dari laman MUI, Selasa (9/11).
Atas dasar penjelasan tersebut, seandainya masyarakat dalam melakukan transaksi menggunakan unta (atau kulit unta) sebagai alat pembayaran, unta tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang (nuqud), melainkan hanya sebagai badal (pengganti) atau ‘iwadh (imbalan) karena uang harus memenuhi dua kriteria.
Kriteria pertama, substansi benda tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara langsung, tetapi hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat. Kedua, diterbitkan lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang (antara lain bank sentral).