Kedua, kripto sebagai alat tukar. Sebagai alat tukar sebenarnya mata uang kripto ini hukum asalnya adalah boleh sebagaimana kaidah fikih dalam bermuamalah. Penggunaan mata uang kripto sebenarnya mirip dengan skema barter, selama kedua belah pihak sama-sama rida, tidak merugikan dan melanggar aturan yang berlaku. Namun demikian, jika menggunakan dalil sadd adz dzariah (mencegah keburukan), maka penggunaan uang kripto ini menjadi bermasalah.
Bagi Majelis Tarjih, standar mata uang yang dijadikan sebagai alat tukar seharusnya memenuhi dua syarat, yakni diterima masyarakat dan disahkan negara yang dalam hal ini diwakili oleh otoritas resminya seperti bank sentral.
Penggunaan bitcoin sebagai alat tukar sendiri, bukan hanya belum disahkan negara kita, akan tetapi juga tidak memiliki otoritas resmi yang bertanggungjawab atasnya. Belum lagi jika kita berbicara mengenai perlindungan terhadap konsumen pengguna bitcoin.
Dari hal-hal yang disampaikan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat kemudaratan dalam mata uang kripto ini. Oleh karena itu, dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 01 tahun 2022 menetapkan bahwa mata uang kripto hukumnya haram, baik sebagai alat investasi maupun sebagai alat tukar.
Saat ini, peraturan mengenai perdagangan aset kripto di Indonesia diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan (Kemendag). Tak seperti di beberapa negara lain di mana mata uang kripto bisa digunakan untuk transaksi, di Indonesia aset kripto hanya bisa diperdagangkan di bursa berjangka.
Aturan mengenai perdagangan bitcoin tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto dan Peraturan Bappebti (Perba) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, yang telah dirubah dengan Perba Nomor 9 Tahun 2019, kemudian Perubahan Kedua dengan Perba Nomor 2 Tahun 2020 dan Perubahan Ketiga dengan Perba Nomor 3 Tahun 2020.