Jakarta, FORTUNE - Indonesia memiliki pangsa pasar halal yang sangat besar. Namun, hingga kini belum mampu berperan sebagai produsen global. Ekonom Senior INDEF, Abdul Hakam Naja, mengatakan ekonomi syariah Indonesia masih berpotensi berkembang, tapi tidak digarap serius.
“Kalau hanya disebut sekilas, bagaimana ekonomi syariah bisa berkembang jadi kekuatan nyata?” ujar Hakam, dalam Diskusi Publik Ekonomi Syariah yang membahas Nota Keuangan RAPBN 2026 pada Senin (25/8), yang disiarkan kanal YouTube INDEF.
Populasi Muslim dunia diperkirakan mencapai 2,8 miliar jiwa pada 2050 atau hampir 30 persen dari total penduduk global. Dari jumlah itu, Indonesia menyumbang sekitar 240 juta jiwa atau 12 persen. Belanja konsumen Muslim global pada 2023 tercatat sebesar US$2,43 triliun atau sekitar Rp39.441 triliun, hampir dua kali lipat PDB Indonesia dan sepuluh kali anggaran APBN. “Ini potensi besar yang seharusnya mendapat perhatian dalam penyusunan RAPBN kita,” kata Hakam.
Industri halal dunia terbagi ke enam sektor utama: makanan halal, farmasi dan kosmetik, fesyen, pariwisata, media dan kreasi, serta keuangan syariah. Indonesia sejauh ini menempati posisi terdepan pada kategori modest fashion dengan nilai pasar US$326 miliar, berkat merek lokal seperti Zoya dan Wardah yang telah menembus pasar internasional.
Namun di sisi ekspor, Indonesia justru tertinggal. Negara-negara seperti Cina, India, Brasil, Rusia, dan Amerika Serikat masih mendominasi sebagai pengekspor produk halal. Sementara itu, Indonesia tercatat sebagai importir bersama Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Turki. Pada 2023, defisit perdagangan halal RI mencapai US$17,31 miliar. “Kalau mau jadi pusat halal dunia, jangan hanya jargon. Anggaran dan kebijakan harus ikut mengarah ke sana,” ujar Hakam.
Ia menekankan pentingnya hilirisasi produk halal, penguatan industri, hingga dukungan pembiayaan syariah bagi UMKM. “Jangan berhenti di branding. Harus ada roadmap fiskal dan pembiayaan syariah yang jelas, supaya kita bisa benar-benar jadi produsen halal,” katanya, menambahkan.
Menurut Hakam, Indonesia sebenarnya punya modal besar untuk memimpin ekonomi syariah dunia. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar dan PDB tertinggi di antara negara anggota OKI, posisi Indonesia seharusnya strategis. Namun, perhatian eksplisit dalam RAPBN 2026 masih terbatas. Dari 506 singkatan dalam RAPBN, hanya lima yang terkait langsung, yakni CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk), Islamic Development Bank, SBSN, Sukuk Tabungan, dan Sukuk Ritel.
“Malaysia itu jelas. Ada roadmap, ada dukungan fiskal, ada pembiayaan yang nyambung dengan industrinya. Kita di Indonesia baru bicara besar, tapi eksekusinya kecil,” ujar Hakam.