Pertanyaan yang muncul kini bukan hanya soal keadilan, tetapi juga legalitas. "Penulis, blogger, vlogger YouTube, musisi, dan jurnalis semuanya telah membantu memberi makan LLM yang sekarang mengancam untuk menghancurkan—atau setidaknya secara fundamental mengubah—mata pencaharian mereka," ujarnya. Para pencipta merasa bahwa menciptakan musik sintetis AI tanpa membayar data pelatihan sangat tidak adil. Namun, apakah itu legal?
Di Amerika Serikat, tuntutan hukum terkait penggunaan data untuk melatih LLM telah muncul. New York Times menggugat Microsoft dan OpenAI atas dugaan pelanggaran hak cipta, sementara tujuh label rekaman besar menggugat perusahaan di balik Suno AI, layanan yang memungkinkan pembuatan musik digital dalam hitungan detik berdasarkan prompt pengguna.
Sementara pengadilan masih menentukan apakah melatih LLM menggunakan data publik termasuk "penggunaan wajar", teknologi blockchain menawarkan solusi potensial bagi pencipta untuk melindungi karya mereka.
"Blockchain adalah sistem kontrak yang beroperasi sebagai buku besar publik yang tidak dapat diubah, yang dapat melindungi kekayaan intelektual seniman," jelasnya.
Blockchain memungkinkan pencipta untuk memberikan cap waktu pada setiap karya mereka dan menghubungkannya dengan pemilik sah. Ini memungkinkan pencipta melacak penggunaan karya mereka dalam pelatihan AI, dan bahkan memungkinkan pembagian royalti secara transparan untuk karya baru yang dihasilkan.
Salah satu contoh sinergi antara AI dan blockchain adalah penyanyi Grimes yang menggunakan teknologi AI melalui platform Elf.Tech. “Grimes telah mendorong batasan dengan perangkat lunak beta AI yang mengubah vokal pengguna menjadi suara Grimes sendiri,” katanya. Hal ini memungkinkan penggemar untuk merilis lagu secara komersial dan mendapatkan hingga setengah dari royalti.
Seiring berlanjutnya perdebatan tentang AI dan hak cipta, blockchain dapat menjadi jalan maju yang layak bagi para seniman. Dengan menggunakan blockchain, pencipta dapat mengambil kendali atas masa depan digital mereka, melindungi kekayaan intelektual, dan memanfaatkan teknologi AI sebagai alat kolaborasi, bukan ancaman.
Jika seniman ingin tetap relevan di tengah gelombang AI, mereka harus beradaptasi dengan cepat. Seperti yang dikatakan David Pakman, "Ini bukanlah pertarungan David melawan Goliath—ini hanya pilihan untuk beradaptasi, seperti yang dilakukan pencipta musik 20 tahun yang lalu."