Jakarta, FORTUNE - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta para kolektor NFT (Non Fungible Token) menyertakan aset tersebut dalam SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan wajib pajak. Sesuai Undang-Undang PPh, NFT termasuk aset yang nilai pasarnya harus dilaporkan.
Kendati belum ada aturan pajak yang secara khusus mengatur pengenaan pajak atas pembelian NFT, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Neilmaldrin Noor mengatakan, pemerintah masih berdiskusi tentang aturan tersebut.
Permintaan terhadap NFT tercatat melonjak sepanjang 2021. Berdasarkan data DappRadar, penjualan NFT tahun lalu hampir menyentuh angka US$25 miliar atau melampaui Rp350 triliun. Itu jauh lebih tinggi ketimbang penjualan pada 2020 yang hanya US$94,9 juta.
Melihat tingginya minat itu, tidak heran bila pemerintah di berbagai negara mulai mengatur bahkan mengenakan pajak terhadap kepemilikan ataupun transaksi pembelian NFT, termasuk regulator Indonesia.
Asosiasi Pedagang Aset Kirpto Indonesia (Aspakrindo) sebelumnya menyarankan agar pajak atas NFT tak menyulitkan para investor dan trader. “Jangan sampai para investor kripto/pemilik NFT cenderung melakukan trading di luar negeri, sehingga mengakibatkan opportunity lost bagi Tanah Air,” kata Ketua Aspakrindo, Teguh Kurniawan Harmanda pada awal pekan ini.
Dia mengatakan, konsep PPh final di bursa efek dapat menjadi acuan pajak aset kripto seperti NFT. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebelumnya mengajukan besaran PPh final 0,05 persen; itu lebih rendah dari transaksi penjualan saham di bursa dengan tarif 0,1 persen.
Menurut riset PwC, pajak NFT berpotensi dikenakan kepada tiga pihak, yaitu: kreator NFT, pembeli pertama ataupun setelahnya, dan lokapasar (marketplace). Lantas, sebagai patokan, bagaimana sebenarnya pengenaan pajak NFT dan aset kripto di sejumlah negara? Simak ulasan berikut.