Jakarta, FORTUNE – Jaringan blockchain Solana kerap dibesar-besarkan sebagai inovasi pengembangan dari teknologi Ethereum. Bahkan, Solana disebut memiliki lebih banyak keunggulan ketimbang Ethereum.
Seperti halnya Ethereum, Solana merupakan blockchain yang memiliki fitur kontrak pintar serta mendukung pembuatan aplikasi terdensentralisasi (decentralized applications/DApps). Namun, alih-alih hanya memanfaatkan proof-of-stake (PoS)—yang digunakan oleh Ethereum—Solana menggunakan pula proof-of-history (PoH) sebagai algoritme konsensus jaringan.
Dikutip dari laman Pintu, fokus Solana adalah mengembangkan platform blockchain dengan skalabilitas tinggi, aman, dan terdensentralisasi. Itu membuatnya dapat menghasilkan jaringan yang memproses transaksi dengan cepat serta berbiaya murah, dan ekosistem yang mendukung pengembangan aplikasi aset kripto baru.
Solana dikembangkan oleh Anatoly Yakovenko dan Greg Fitzgerald. Mereka sebelumnya bekerja di Qualcomm, perusahaan teknologi yang berbasis di California, Amerika Serikat.
Anatoly memulai proyek Solana pada 2017, dan berhasil mendapatkan US$25 juta dolar melalui Initial Coin Offering (ICO). Lalu, whitepaper resmi Solana dirilis pada Februari 2018, diikuti oleh beberapa fase pengujian hingga akhirnya resmi diluncukan pada Maret 2020.
Solana berada dalam naungan Solana Labs dan Solana Foundation. Solana Labs berfokus pada pengembangan teknologi, termasuk mekanisme PoH. Sedangkan, Solana Foundation adalah organisasi yang berurusan dengan penggalangan dana, pembangunan kerja sama eksternal, dan pengembangan komunitas Solana.
Adapun Solana Coin, dengan kode SOL, merupakan token utilitas Solana. Investor dapat menggunakan aset kripto tersebut untuk berbagai transaksi di platform.