Namun, usaha meraih pertumbuhan digital berkelanjutan juga tak mudah tersebab sejumlah perkara. Menurut riset dari The SMERU Research Institute (2020), perekonomian digital Indonesia belum inklusif lantaran sejumlah persoalan.
Ambil misal faktor akses internet dan infrastruktur pendukungnya yang belum merata di pedesaan, khususnya daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Bahkan, kalaupun infrastruktur internet tersedia, tidak serta merta akses dan pemanfaatan sama, terutama bagi perempuan, masyarakat miskin, lanjut usia, masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, dan penyandang disabilitas menjadi terjamin.
Itu belum termasuk soal transformasi digital dalam ekspansi bisnis yang belum sepenuhnya tercapai. Pada gilirannya, kesadaran akan pentingnya perlindungan sosial antara pelaku bisnis dan pekerja yang terlibat dalam ekosistem digital masih rendah.
Padahal, Indonesia pada 2025 diperkirakan menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, dan perekonomian digital telah menyumbang 2,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2019.
Bank Dunia menyebut pekerjaan gig digital memang tengah bermunculan. Hal itu bisa menjadi batu loncatan bagi orang muda Indonesia. Pekerjaan sama pun berupah lebih besar dibandingkan pekerjaan informal konvensional.
Namun, menurut lembaga tersebut, peluang itu umumnya hanya terbatas bagi pekerja laki-laki di wilayah perkotaan. Pekerja gig digital rata-rata juga bekerja 10 jam lebih banyak dibandingkan tipe pekerja lain di Indonesia.
“Salah satu alasan mengapa manfaat digital belum dapat digunakan oleh pekerja dalam spektrum yang lebih luas adalah tingkat adopsi digital oleh perusahaan, terutama usaha kecil dan menengah, masih rendah dan terbatas. Hal ini baru berubah saat pandemi terjadi dan dapat didukung dengan kebijakan yang melengkapi perkembangan tersebut,” demikian pernyataan Bank Dunia dalam riset Melampaui Unikorn: Memanfaatkan Teknologi Digital Untuk Inklusi Indonesia, Juli 2021.