Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Dr. dr. Slamet Budiarto (Ketua PB IDI) dan Ardhitya Rinaldo (Managing Director Halodoc).JPG
Dr. dr. Slamet Budiarto, Ketua PB IDI dan Ardhitya Rinaldo, Managing Director Halodoc/Dok. Halodoc

Jakarta, FORTUNE - Adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam sektor kesehatan terus meningkat di seluruh dunia. Menurut survei Statista, sekitar 52 persen klinisi dilaporkan “cukup familiar” dengan kecerdasan buatan, dan kurang lebih 26 persen di antaranya telah menggunakan AI untuk keperluan pekerjaan pada tahun 2024. Di Asia Pasifik, proporsi pengguna AI bahkan mencapai sekitar 30 persen. Selain itu, survei menunjukkan bahwa di Asia Pasifik, sekitar 19 persen keputusan klinis telah didasarkan pada tools AI seperti ChatGPT atau Bard.

Perkembangan mengenai adopsi AI di sektor kesehatan ini juga semakin nyata di Indonesia — salah satunya lewat peluncuran AI Doctor Assistant (AIDA) oleh Halodoc. Inovasi ini diperkenalkan bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-80 dalam sebuah acara silaturahmi bersama ratusan mitra dokter serta Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Managing Director Halodoc, Ardhitya Rinaldo, mengatakan bahwa teknologi, dedikasi pada pelayanan kesehatan, dan semangat kolaborasi adalah jembatan menuju Indonesia yang lebih sehat.

"AIDA adalah alat pendukung yang tidak akan menggantikan peran dokter, tetapi memberdayakan kemampuan mereka untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sudah baik menjadi semakin baik lagi bagi pasien," ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (21/8). Pendekatan ini sejalan dengan panduan WHO yang menekankan pentingnya privasi data, tata kelola etis, dan keadilan dalam penggunaan AI di sektor kesehatan.

AIDA dibangun dengan filosofi doctor first dan berada di bawah pengawasan Board of Medical Excellence Halodoc, tim dokter yang bertugas mengawasi, memantau, dan mengevaluasi penerapan awal teknologi ini di ekosistem Halodoc. Hasil evaluasi menunjukkan lebih dari 80 persen mitra dokter merasakan manfaat AIDA, terutama dalam menyelesaikan pekerjaan repetitif atau administratif.

Dengan demikian, memungkinkan dokter lebih fokus pada pengambilan keputusan klinis dengan dukungan data yang lebih akurat. Pada tahap penerapan awal, AIDA juga diklaim berhasil mencapai tingkat ketepatan hingga 93 persen, menegaskan perannya sebagai pendamping terpercaya bagi dokter.

Halodoc menekankan bahwa privasi dan keamanan data menjadi prioritas utama. Setiap interaksi dengan AI dijalankan dalam kerangka tata kelola data yang ketat, sesuai aturan perlindungan data kesehatan yang berlaku. “Fokus kami adalah memastikan teknologi hadir sebagai pendamping terpercaya, dengan jaminan keamanan data, privasi pasien, dan integritas klinis yang selama ini menjadi pondasi Halodoc,” kata Ardhitya.

Teknologi AIDA juga dirancang untuk:

  • Memberikan akses praktis ke pengetahuan medis berbasis bukti,

  • mempercepat alur kerja klinis, dan

  • memungkinkan dokter lebih fokus pada layanan berkualitas dan berkelanjutan serta interaksi langsung dengan pasien.

Terkait teknologi AI Ketua Umum PB IDI, dr. Slamet Budiarto, mengatakan sebagai organisasi profesi, IDI mendukung setiap kemajuan teknologi yang berkaitan dengan kedokteran, baik dalam pelayanan tatap muka maupun online. Menurutnya, di masa mendatang perkembangan AI akan semakin cepat, tapi dalam kedokteran tetap ada koridor-koridor yang harus dijaga.

"Untuk itu, IDI telah merumuskan kode etik dalam menjembatani pemanfaatan teknologi di dunia medis. Kami juga mengapresiasi Halodoc yang selama sembilan tahun hadir sebagai layanan kesehatan digital terbesar di Indonesia. IDI percaya, kerja sama yang baik antara profesi medis dan inovasi digital akan memberikan dampak positif bagi masyarakat,” ujar Slamet.

Editorial Team