Jakarta, FORTUNE - Platform media sosial (medsos) kini menjadi primadona masyarakat setelah menyediakan fitur-fitur yang dapat digunakan untuk bertransaksi atau berjualan di dalam platform mereka. Aktivitas berjualan di medsos tersebut, kerap disebut dengan social commerce.
Dalam hal ini, brand atau pelaku usaha tidak menjadikan laman media sosial mereka sebagai etalase semata, melainkan konsumen dapat menyelesaikan seluruh proses pembelian tanpa meninggalkan aplikasi tersebut. Fenomena social commerce ini bisa dianggap sebagai pesaing baru bagi platform-platform e-commerce ternama seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, dan Tokopedia.
Di sisi lain, sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS) telah mewaspadai model bisnis social commerce yang dinilai dapat menimbulkan berbagai risiko. Risiko ini termasuk dalam hal manajemen data.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, penggunaan media sosial untuk berjualan pada dasarnya bisa disebut sebagai marketplace.
Oleh karena itu, semestinya penjual juga harus mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam PP Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
"Artinya TikTok sendiri sebagai penyedia platform dia harus patuh pada aturan-aturan tersebut, dan membebankan aturan-aturan tersebut kepada usernya yang menggunakan akun mereka untuk jual beli secara online," kata Wahyudi, ketika dihubungi media di Jakarta, Rabu (1/2).