Jakarta, FORTUNE - Polemik soal kuota data internet yang hangus karena melewati masa aktif terus bergulir di tengah masyarakat. Banyak pengguna seluler yang belum memahami regulasi teknis soal layanan data prabayar, sehingga memunculkan anggapan bahwa mekanisme tersebut merugikan konsumen dan bahkan negara.
Isu ini menjadi bahasan utama dalam diskusi Selular Business Forum (SBF) bertema "Mekanisme Kuota Data Hangus, Apakah Melanggar Regulasi dan Merugikan Konsumen?" yang digelar di Jakarta, Rabu (16/7/2025). Diskusi ini menghadirkan lima pembicara dari pemerintah, industri, dan akademisi, dipandu Chief Executive Officer Selular Media Network, Uday Rayana.
Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Marwan O. Baasir, menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi telah mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2021. Dalam pasal 74 ayat 2, dijelaskan bahwa deposit prabayar memiliki batas waktu penggunaan, termasuk kuota data yang dibeli pengguna.
“Pada pasal 82 disebutkan pelanggan dapat memilih masa berlaku dan kuota sesuai kebutuhannya. Mekanisme ini bukan pelanggaran karena berdasarkan regulasi yang sah,” ujarnya.
Marwan menambahkan, transparansi menjadi bagian penting dari layanan yang disediakan operator. Informasi soal harga, jumlah kuota, masa berlaku, hingga syarat dan ketentuan paket telah tersedia secara terbuka untuk konsumen. Ia juga menepis anggapan bahwa sistem kuota hangus merugikan negara. Paket data merupakan produk yang dibayar di muka atau pascabayar dan harga sudah termasuk PPN. Seluruh pendapatan perusahaan pun dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Misalnya, dari 50Mbps hanya terpakai 30Mbps, sisa kuota tidak bisa dikompensasi ke bulan berikutnya karena ISP juga berlangganan bandwidth ke NAP secara bulanan. Kalau tidak habis, ya hangus. Ini logis dan tidak merugikan,” jelasnya.
Pakar keterbukaan publik yang juga mantan angggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih menambahkan, “Jika ada subsidi dari pemerintah baru bisa disebut merugikan negara. Dalam kasus ini, tidak ada. Justru perusahaan telekomunikasi menyetor pajak dari transaksi pembelian kuota.”
Adapun Pengamat Telekomunikasi/Pengajar ITB/Mantan Komisioner BRTI/Anggota Dewan Pengawas Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), Agung Harsoyo, menekankan bahwa meski internet kini menjadi kebutuhan pokok, harganya cenderung turun. “Membangun jaringan internet di negara kepulauan seperti Indonesia tidak murah. Tapi justru pelanggan saat ini menikmati harga yang makin terjangkau,” ujarnya.