Jakarta, FORTUNE – Survei terbaru dari DEXterlab menunjukkan sejumlah alasan mengapa orang melakukan pembelian aset yang tidak dapat dipertukarkan (non-fungible token/NFT), mulai dari soal investasi sampai partisipasi dalam komunitas. NFT bahkan dianggap sebagai komoditas yang sanggup diperjualbelikan berkat teknologi di belakangnya.
NFT merupakan aset atau token digital berbentuk kode yang disimpan di blockchain dalam bentuk kontrak pintar. NFT adalah token yang merepresentasikan kepemilikan unik. Segala item yang unik—dan tak bisa dipertukarkan—dapat ditandai di dunia NFT, dari karya seni, barang koleksi, hingga properti. Benda-benda itu unik karena tidak dapat digantikan dengan apa pun. Para pemiliknya disebut kolektor NFT.
Tak sedikit orang yang bertanya mengapa sebagian individu menghabiskan banyak uang untuk menebus NFT dalam bentuk JPG, GIF, atau video, menurut DEXterlab. Bahkan, ada anggapan aset digital tersebut tak perlu dibeli karena bisa langsung diakses, diunduh, atau dilakukan tangkapan layar.
Namun, NFT tidak bekerja dengan cara seperti itu. Aset digital ini memiliki satu konsep penting: kepemilikan digital. Secara sederhana, seseorang mungkin dapat melihat dan mengagumi lukisan Mona Lisa, tetapi tidak berarti seseorang itu adalah pemilik lukisan tersebut. Sama halnya dengan NFT, seseorang mungkin bisa melakukan tangkapan layar atau mengunduhnya, tapi individu itu bukan pemiliknya jika tidak dapat membuktikan pembelian dengan catatan di blockchain.
Menurut survei DEXterlab, 48 persen responden menyatakan berminat untuk menebus NFT dengan harga mulai US$50 atau lebih dari Rp700 ribu hingga US$500 atau sekitar Rp juta.
Berikut sejumlah alasan individu dalam menebus aset digital dimaksud, berdasarkan jajak pendapat DEXterlab terhadap 1.200 orang.