Jakarta, FORTUNE - Meta menanggapi kekhawatiran pasar mengenai potensi pecahnya gelembung teknologi kecerdasan buatan (AI) atau bubble burst. Country Director Meta untuk Indonesia, Pieter Lydian, menilai narasi mengenai ledakan gelembung AI saat ini masih bersifat spekulatif.
“Apakah terjadi atau tidaknya, nobody knows for now. Belum ada yang bisa meramalkan masa depan,” ujar Pieter dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (10/12).
Kendati pasar sulit diprediksi, Pieter memaparkan dua skenario utama. Pertama, gelembung AI berpotensi pecah (burst) apabila perusahaan terlalu agresif menggelontorkan investasi tanpa hasil nyata. Kedua, tren AI diprediksi tetap positif apabila investasi yang dikeluarkan berjalan seimbang dengan produktivitas.
“Dan itu [jika seimbang], tidak akan burst. Tapi kalau ternyata output-nya enggak ada, nantinya jadi problematik,” katanya.
Sejalan dengan optimisme tersebut, Meta menunjukkan komitmennya melalui data keuangan perusahaan. Meta mencatatkan proyeksi belanja modal (capital expenditure/capex) untuk 2025 sebesar US$64 miliar.
Dana ini dialokasikan khusus untuk pengembangan AI, termasuk infrastruktur pusat data (data center) dan perangkat keras pendukung.
Angka tersebut melesat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai US$24 miliar. Kenaikan investasi ini menegaskan posisi Meta yang tetap ekspansif di tengah perdebatan pasar.
Tren pengeluaran masif ini juga terekam secara global. Laporan UBS memperkirakan total pengeluaran global untuk AI mencapai US$375 miliar pada tahun ini, dan diproyeksikan terus mendaki hingga US$500 miliar pada 2026.
Di sisi lain, skeptisisme pasar tetap membayangi. Melansir laporan CNBC, euforia kesepakatan dan pengeluaran dana besar-besaran saat ini mulai disamakan dengan gelembung dotcom pada akhir 1990-an.
Laporan The Guardian menyebutkan pasar saham telah memecahkan beberapa rekor tahun ini dan pulih dari tekanan, sebagian besar berkat janji manis teknologi kecerdasan buatan.
Raksasa teknologi seperti Amazon, Microsoft, serta aliansi OpenAI dan Nvidia berlomba mengumumkan kesepakatan besar dan menghabiskan miliaran dolar untuk pembangunan infrastruktur digital.
Bubble burst sendiri merupakan situasi ketika harga aset naik pesat melebihi nilai intrinsiknya. Kondisi ini kemudian diikuti oleh koreksi tajam saat pasar menyadari valuasi tersebut tidak realistis, lantas memicu penarikan modal secara cepat dari pasar.
