Jakarta, FORTUNE - Industri fintech diyakini masih dapat tumbuh berkelanjutan pasca melewati tech winter. Hal ini ditopang oleh potensi populasi muda, SDM produktif yang melek digital dari dalam negeri.
Apalagi penggunaan ponsel dan internet yang bertumbuh pesat di Indonesia, serta populasi yang muda dan produktif, menjadi faktor utama adopsi digital secara masif. Di sisi lain, berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain pada 2021, nilai ekonomi digital di Indonesia mencapai US$70 miliar, atau terbesar di ASEAN. Diperkirakan, nilai ini dapat mencapai US$330 miliar pada 2030
Co-Founder Pluang, Claudia Kolonas menjelaskan, dengan ceruk pasar yang sedemikian besar, perusahaan startup teknologi di Indonesia telah berlomba-lomba melakukan “burn rate” atau “bakar uang” dari hasil fundraise. Hampir seluruh startup melakukan promosi jor-joran untuk mendapatkan sebanyak mungkin konsumen baru dalam waktu yang relatif singkat.
"Dalam kurun waktu 2019 sampai 2021, pendanaan sangat mudah didapat, bahkan banyak investor yang memang secara aktif mencari. Namun karena mudahnya pendanaan, banyak founder yang terbiasa menggunakan strategi bakar uang untuk mendorong pertumbuhan bisnis," kata Claudia melalui keterangan resmi pada acara sesi diskusi panel bertajuk “Inflection Point: Mapping the Next Phase of Indonesia’s Maturing Tech Industry”,di Jakarta baru-baru ini.
Ia menyebut, tren bakar uang ini berbeda dengan para founder startup di luar negeri yang memecahkan sebuah permasalahan langsung oleh dirinya sendiri. "Sehingga mereka menjadi intim dengan masalah tersebut." kata Claudia, yang mendirikan Pluang empat tahun lalu.