Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Cybersecurity Expert melindungi perusahaan dari ancaman siber.( pinterest.com / Milind Agarwal )
Cybersecurity Expert melindungi perusahaan dari ancaman siber.( pinterest.com / Milind Agarwal )

Intinya sih...

  • Itu menunjukkan rentannya perangkat digital di Tanah Air terhadap eksploitasi oleh penjahat siber.

  • Ketiadaan regulasi yang memadai, seperti UU KKS, UU PDP belum efektif dalam menghadapi ancaman siber modern.

  • Dampak negatif dari pengabaian ancaman siber sangat nyata.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Laporan Cloudflare menempatkan Indonesia sebagai sumber serangan Distributed Denial of Service (DDoS) nomor satu di dunia. Temuan ini menjadi alarm keras bagi keamanan digital nasional.

Ketua dan Founder Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, menilai status ini menunjukkan kerentanan masif pada perangkat digital di Tanah Air. Milik individu maupun korporasi sangat mudah dikompromi dan dieksploitasi oleh pelaku kejahatan siber.

“Banyak perangkat di Indonesia, mulai dari komputer pribadi, ponsel, hingga perangkat IoT seperti kamera dan router, belum dilindungi dengan baik. Minimnya kesadaran keamanan, penggunaan perangkat lunak bajakan, serta lemahnya regulasi membuat perangkat-perangkat ini mudah dijadikan ‘zombie’ dalam jaringan botnet global,” ujar Ardi dalam keterangan resminya, Rabu (10/12).

Tingginya angka serangan dari Indonesia menandakan banyak aktivitas ilegal dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik perangkat. Ardi menegaskan pemilik perangkat sejatinya adalah korban dari sistem yang lemah, bukan pelaku utama serangan.

Ia mengingatkan, transformasi digital tanpa diiringi peningkatan keamanan siber hanya akan membuka celah baru yang berbahaya. Masalah ini kian rumit karena ketiadaan regulasi yang memadai.

Hingga kini, Indonesia dinilai belum memiliki Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (UU KKS) yang komprehensif.

“UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang sudah berlaku belum efektif dalam menghadapi dinamika dan kompleksitas ancaman siber modern. Banyak pihak menyoroti bahwa proses pembentukan UU KKS masih terkesan ‘disembunyikan’ dari publik,” ujarnya.

Kekosongan regulasi ini berdampak pada lemahnya koordinasi antara regulator, industri, dan masyarakat. Ardi mengkritik upaya mitigasi yang selama ini bersifat reaktif dan hanya mengandalkan filosofi takedown sesaat, tanpa strategi pencegahan sistematis yang berkelanjutan.

Dampak pengabaian ancaman ini sangat nyata. Indonesia berisiko kehilangan kepercayaan komunitas internasional dalam keamanan transaksi digital. Investor pun akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal jika ekosistem digital dinilai tidak aman.

Selain itu, masyarakat semakin rentan menjadi korban pencurian data, penipuan online, hingga gangguan layanan publik.

“Jika regulator dan pelaku industri terus menunda pembenahan, Indonesia tidak hanya akan menjadi korban, tetapi juga sumber masalah bagi ekosistem digital global,” katanya.

Ardi menyerukan ancaman siber dipandang sebagai isu strategis yang membutuhkan kolaborasi lintas-sektor. Pemerintah harus mempercepat pengesahan UU KKS dan memperkuat implementasi UU PDP. Di sisi lain, industri perlu meningkatkan investasi pada perangkat, SDM, dan edukasi pelanggan.

“Momentum ini harus dimanfaatkan untuk membangun ketahanan digital yang kokoh, demi masa depan yang aman, produktif, dan berdaya saing di era global,” ujarnya.

Editorial Team