Jakarta, FORTUNE - Metaverse menjadi dunia tanpa batas dan dianggap mampu menyediakan wadah kolaborasi antarpengguna meski terpaut jarak. Kecanggihannya kian menjangkau berbagai bidang, khususnya bisnis, ekonomi, pendidikan, IT, dan hiburan.
Kalangan Gen-Z, yang lahir antara 1996-2010, menikmati dunia virtual yang mendekati nyata tersebut. Apa sebenarnya metaverse?
Kata metaverse sendiri hingga kini belum bisa didefinisikan secara pasti. Seorang penulis kelahiran Maryland, Amerika, Neal Stephenson merupakan yang pertama kali menciptakan istilah tersebut dalam novelnya Snow Crash pada 1992.
Mudahnya, metaverse merupakan dunia virtual yang memungkinkan penggunanya saling terhubung. Selain bisa berkomunikasi, bekerja, bermain, para pengguna juga dapat bertransaksi layaknya di dunia nyata. Metaverse pun digadang-gadang akan menjadi dunia virtual yang paralel dengan kehidupan nyata.
Metaverse adalah kombinasi dari beberapa elemen teknologi, termasuk virtual reality, augmented reality (AR), dan video.
Metaverse bisa berupa konser, konferensi hingga perjalanan virtual keliling dunia dan sebagainya. Akan tetapi, untuk ‘melompat’ ke di dunia virtual 3D ini, headset atau kacamata AR menjadi perantaranya.
Kajian lebih jauh mengenai metaverse dan persepsi Gen-Z, Advisia bersama dengan WIR Global meluncurkan White Paper Project mengenai Metaverse.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa metaverse lebih banyak dinikmati Gen-Z lantaran generasi ini yang sekarang lebih menikmati kehidupan di dunia virtual.
Dalam mengulik persepsi Gen Z, proyek ini juga berupaya menjelajahi kegunaannya secara optimal, serta menghasilkan wawasan yang dapat ditindaklanjuti bagi perusahaan.