Jakarta, FORTUNE – Metaverse dalam setahun belakangan ramai dibicarakan terutama dalam industri teknologi berbarengan dengan popularitas kripto dan NFT yang sempat menanjak. Namun, waktu membuktikan bahwa teknologi tersebut belum dapat diterima sepenuhnya secara luas. Kasus komisi Uni Eropa baru-baru ini menjadi bukti akan sepinya minat terhadap metaverse.
Menurut Fortune.com, Senin (5/12), Departemen Bantuan Luar Negeri Uni Eropa dilaporkan gagal menggelar “gala” virtual di platform metaverse yang baru dikembangkan karena hanya dihadiri oleh enam peserta.
Padahal, dana yang dibelanjakan untuk membangun metaverse tersebut mencapai U$400.000 atau lebih dari Rp6,2 miliar. Dunia immersive yang mereka bangun tersebut telah dirilis pada pertengahan Oktober, dan berstatus aktif.
Aksi tersebut merupakan bagian dari kampanye untuk mempromosikan Global Gateway Initiative, sebuah program yang berambisi untuk menggelontorkan dana US$300 miliar atau lebih dari Rp4.622 miliar pada 2027 demi membantu pembangunan infrastruktur negara berkembang.
Sebelumnya, proyek metaverse itu ditujukan untuk "meningkatkan kesadaran tentang apa yang dilakukan Uni Eropa di panggung dunia”. Pemerintah Eropa menargetkan kaum muda berusia 18-35, menghabiskan banyak waktunya di Instagram dan TikTok, namun memiliki sikap netral, dan cenderung tidak banyak mengetahui tentang Uni Eropa.
Sementara, Akun Kemitraan Internasional Uni Eropa menggambarkannya sebagai tempat di mana orang dapat bertemu dan "merefleksikan masalah global untuk membuat perbedaan bagi masa depan bersama".