Rio Tinto Ungkap Temuan Budaya Pelecehan hingga Rasisme di Perusahaan

Setengah jumlah karyawan mengaku mengalami perundungan.

Rio Tinto Ungkap Temuan Budaya Pelecehan hingga Rasisme di Perusahaan
Ilustrasi pekerja tambang di Rio Tinto. (dok.Rio Tinto)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Rio Tinto, perusahaan tambang dan logam berskala global yang hanya memiliki sekitar 47.500 karyawan yang tersebar di 35 negara, baru saja menerbitkan tinjauan eksternal komprehensif tentang budaya kerja. Sayangnya, perusahaan mendapati adanya budaya pelecehan seksual, intimidasi, dan rasisme dalam lingkungan kerjanya yang sifatnya sistemik.

Perusahaan menugaskan mantan Komisioner Diskriminasi Seks, Elizabeth Broderick untuk melakukan tinjauan ini. Hasilnya, lebih dari seperempat pekerja perempuan di Rio Tinto Group telah mengalami pelecehan seksual dan hampir setengah jumlah karyawan mengaku pernah menjadi korban perundungan (bullying).

Berdasarkan rilis yang diumumkan Rio Tinto melalui situs resminya pada Selasa (1/2), temuan laporan selama lima tahun terakhir menunjukkan sebanyak 28,2 persen pekerja perempuan dan 6,7 persen pekerja pria pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Lalu, sebanyak 21 perempuan melaporkan pemerkosaan atau penyerangan seksual.

Selain itu, survei menunjukkan bahwa orang yang bekerja di negara yang bukan tempat kelahiran mereka mengalami rasisme yang cukup tinggi. Berdasarkan tinjauan di wilayah operasi Rio Tinto Australia, sebanyak 39,8 persen pria dan 31,8 persen perempuan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Aborigin atau penduduk Kepulauan Selat Torres, mengaku pernah jadi sasaran rasisme.

Intimidasi yang dianggap ‘normal’

Tinjauan yang dilakukan Broderick selama kurang lebih delapan bulan ini difokuskan pada 10.000 orang karyawan yang berbagi pandangan, wawasan, dan pengalaman melalui survei online. Namun sangat disayangkan, komentar menghina dan intimidasi fisik dianggap menjadi sesuatu yang ‘normal’ di perusahaan tersebut.

"Seorang pria berkata kepada saya: 'Ini adalah fakta biologis bahwa wanita tidak sebaik pria dalam matematika. Makanya jarang ada insinyur perempuan,'” kata salah satu responden survey, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (1/2).

Meski demikian, Elizabeth Broderick optimis bahwa Rio Tinto sangat terbuka terhadap temuan yang didapat dan menunjukkan komitmennya untuk perubahan yang positif. “Tingginya tingkat kepercayaan di antara karyawan bahwa dampak yang signifikan dapat dibuat dalam dua tahun ke depan merupakan tanda yang menggembirakan bahwa perubahan dapat terjadi,” ujarnya.

CEO Rio Tinto menyesal dan malu

Melihat berbagai temuan dari laporan yang cukup mengejutkan, CEO Rio Tinto, Jakob Stausholm, merasa malu dan sangat menyesal. “Saya menyampaikan permintaan maaf yang tulus kepada setiap anggota tim, dulu atau sekarang, yang telah menderita akibat perilaku ini. Ini bukan jenis perusahaan yang kita inginkan,” katanya dalam rilis resmi.

Stausholm bertekad untuk menerapkan tindakan yang tepat dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. “Dengan komitmen tim manajemen untuk Rio Tinto yang aman, penuh hormat, dan inklusif di semua bidang, kami akan membuat perubahan positif dan langgeng serta memperkuat budaya tempat kerja kami untuk jangka panjang,” ucapnya.

Sementara itu, sejumlah investor dan kelompok advokasi mengapresiasi transparansi Rio Tinto dalam mempublikasikan temuannya. Mereka akan terus memantau perkembangan dan menyikapi rekomendasi laporan yang dihasilkan.

Tiga rekomendasi

Tinjauan yang dilakukan Broderick menghasilkan 26 rekomendasi terperinci yang berkenaan dengan peningkatan cara perusahaan mencegah dan merespons diskriminasi serta perilaku di tempat kerja yang tidak dapat diterima. Merangkum rekomendasi tersebut, Rio Tinto pun akan menerapkan semua rekomendasi tersebut dengan fokus pada tiga hal.

Pertama, komitmen pimpinan perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, saling menghormati, dan inklusif. Hal ini termasuk peningkatan keragaman dalam perusahaan. Kedua, memastikan fasilitas kamp dan pemukiman perusahaan aman serta inklusif. Perusahaan harus menerapkan proses keselamatan dan risiko yang sama dengan pencegahan bahaya operasi bagi semua karyawan maupun kontraktor.

Ketiga, perusahaan harus mempermudah proses pengaduan dan menjamin keamanan untuk para korban yang ingin bersuara untuk mendapatkan dukungan. Hal ini termasuk opsi intervensi awal dan improvisasi pada cara perusahaan merespon keluhan formal di tempat kerja.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Cara Daftar BRImo Secara Online Tanpa ke Bank, Ini Panduannya
Jumlah Negara di Dunia Berdasarkan Keanggotaan PBB
Erick Thohir Buka Kemungkinan Bawa Kasus Indofarma ke Jalur Hukum
Saat Harga Turun, Edwin Soeryadjaya Borong Saham SRTG Lagi
Lampaui Ekspektasi, Pendapatan Coinbase Naik Hingga US$1,6 Miliar
Mengenal Apa Itu UMA pada Saham dan Cara Menghadapinya