Efek Kenaikan Harga Batu Bara Acuan

Per September, HBA naik hingga US$150,03 setiap ton.

Efek Kenaikan Harga Batu Bara Acuan
Kapal pengangkut batu bara. (ShutterStock/ImagineStock)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Harga batu bara acuan (HBA) pada September 2021 meningkat US$19,04 per ton dan membuat harga batu bara mencapai US$150,03 untuk setiap ton. Sebelumnya, HBA Agustus berada di level US$130,99 per ton.

"Ini adalah angka yang cukup fenomenal dalam dekade terakhir. Permintaan Tiongkok yang tinggi melebihi kemampuan produksi domestiknya serta meningkatnya permintaan batu bara dari Korea Selatan dan kawasan Eropa seiring dengan tingginya harga gas alam melambungkan HBA ke angka USD150,03 per ton," ujar Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi, di Jakarta, Senin (6/9).

Beberapa faktor tersebut, menurut Agung, adalah penyebab harga batu bara global terimbas naik dan mencatatkan rekor dari bulan ke bulan. Walau sempat landai pada periode Februari-April 2021, namun sejak Mei hingga September terus memperlihatkan kenaikan beruntun. Sempat menyentuh US$115,35 per ton pada Juli 2021, kini HBA naik secara konsisten dan baru mencatatkan rekor tertinggi pada September 2021.

Menurut rilis ESDM, Senin (6/9), HBA bulan September ini akan dipergunakan dalam penentuan harga batu bara pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).

Kenaikan HBA berpengaruh positif pada pasar saham Indonesia

Fikri Permana, Senior Economist dari Samuel Sekuritas Indonesia, menanggapi kenaikan HBA ini sebagai sesuatu yang positif. Ia berpendapat bahwa situasi ini dapat mendorong pendapatan emiten-emiten yang terkait batu bara. “Tapi ini selama jumlahnya bisa dipertahankan dan nilai tukar rupiah juga terjaga,” ujarnya.

Fikri juga memperkirakan bahwa tren kenaikan HBA ini masih akan terus terjadi hingga tahun depan. “Ini terjadi karena permintaan Tiongkok masih besar,” katanya.

Walau melihat tren kenaikan HBA ini sebagai sesuatu yang positif dari kacamata pasar saham, namun Fikri mengingatkan para investor untuk selalu waspada. Hal ini juga berlaku pada setiap emiten yang terkait bisnis batu bara.

“Mungkin karena harganya volatile dan adanya kemungkinan tapering yang bisa saja meningkatkan cost of fund yang juga akan meningkatkan volatilitas. Hal ini perlu juga untuk dipertimbangkan,” ujar Fikri.

Pihak yang Dirugikan

Kenaikan HBA tidak selamanya berdampak baik bagi seluruh pihak. Nyatanya, ada beberapa kelompok masyarakat yang mengkhawatirkan kenaikan harga batu bara yang memberi dampak cukup signifikan pada sektor usaha yang dijalani.

Kenaikan harga batu bara ternyata jadi beban tersendiri bagi pelaku industri tekstil yang bergantung pada komoditas batu bara. Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan kenaikan harga batu bara akan berpengaruh ke biaya produksi, khususnya dari sisi energi.

"Industri hulu tekstil menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik dan boiler. Kebutuhan paling besar untuk pembangkitnya," kata Redma kepada Fortune Indonesia, Rabu (8/9)

Untuk beradaptasi dengan kenaikan HBA, Redma mengatakan, beberapa perusahaan pada industri ini mulai mengurangi kapasitas pembangkitnya. “Bahkan ada yang mematikan full pembangkitnya. Jadi, kebutuhannya hanya untuk boiler saja,” katanya.

Lebih jauh, Redma berpendapat bahwa pemerintah perlu mengendalikan pasar dalam negeri, walaupun kesulitan mengendalikan dari sisi harga batu bara. Menurutnya, pemerintah harus menghambat barang impor yang bebas masuk.

“Karena kenaikan cost, selain di energi juga ada di logistik dan bahan baku yang menggunakan batu bara juga. Sedangkan, pasar belum normal, tapi sudah diserbu barang impor. Hal ini sangat menghambat upaya pemulihan ekonomi di sektor industri,” ujar Redma.

Apa itu Harga Batu bara Acuan (HBA)?

Berdasarkan rilisnya, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa HBA adalah harga rata-rata yang diperoleh dari beberapa indeks harga, seperti Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900, pada bulan sebelumnya.

Adapun harga ini didasarkan pada beberapa indikator kualitas, antara lain kalori 6322 kcal/kg GAR, total moisture 8 persen, total sulphur 0,8 persen, dan ash 15 persen.

Naik turunnya HBA dipengaruhi oleh pasokan (supply) dan permintaan (demand). Faktor turunan supply dipengaruhi beberapa hal, misalnya cuaca, kebijakan negara pemasok, teknis tambang, sampai teknis di supply chain (kereta, tongkang, atau terminal loading)

Sedangkan untuk faktor turunan demand, HBA amat dipengaruhi oleh besarnya kebutuhan listrik yang terkait kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain (LNG, nuklir, maupun hidro).

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Paylater Layaknya Pedang Bermata Dua, Kenali Risiko dan Manfaatnya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan
Bukan Cuma Untuk Umrah, Arab Saudi Targetkan 2,2 Juta Wisatawan RI
BI Optimistis Rupiah Menguat ke Rp15.800 per US$, Ini Faktor-faktornya
Rambah Bisnis Es Krim, TGUK Gandeng Aice Siapkan Investasi Rp700 M