Fujifilm Bertahan dengan Semangat Samurai

Fujifilm mampu bertahan melalui diversifikasi bisnis.

Fujifilm Bertahan dengan Semangat Samurai
Shutterstock/testing
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE- Sama-sama dari Jepang, Fujifilm kurang dikenal dibandingkan Toyota dan Sony yang sudah menjadi kunci utama dalam rantai pasokan dan inovasi dunia. Faktanya, Fujifilm bertahan lebih lama di tengah penurunan fotografi tradisional dan mencatat rekor keuntungan.

Rekor ini terjadi usai diversifikasi Fujifilm ke berbagai bisnis. Mulai dari dari obat-obatan dan kosmetik hingga bahan canggih, selain kamera, dan jenis mesin pencitraan lainnya. 

Di balik kesuksesan itu, ada Shigetaka Komori yang mengundurkan diri bulan lalu setelah 20 tahun menjadi penasihat eksekutif Fujifilm. Komori memfokuskan perusahaan berusia 87 tahun itu untuk memanfaatkan teknologi pembuatan filmnya, didorong oleh akuisisi strategis untuk menjadi pemimpin dalam biofarmasi.

Manuver Teknologi Saat Pandemi Covid-19

FUJIFILM Diosynth Biotechnologies. Dok.Fujifilm

“Orang-orang di luar bahkan mungkin bertanya-tanya apa yang dilakukan Fujifilm dengan semua bisnis ini, tetapi Fujifilm sebenarnya terhubung dalam banyak hal dalam teknologi dasar,” kata Takatoshi Ishikawa, Wakil Presiden Eksekutif Senior Fujifilm dikutip The Associated Press, Kamis (15/7).

Fujifilm telah memanfaatkan kekuatan analognya sebaik mungkin. Meskipun penjualan remuk karena pandemi, Fujifilm melaporkan rekor laba bersih 181,2 miliar yen atau setara US$1,6 miliar pada tahun fiskal yang berakhir pada Maret 2021, naik 45% dari tahun sebelumnya.

Teknologi Fujifilm digunakan untuk membuat antigen untuk vaksin Novavax Covid-19, meskipun belum disetujui di Jepang. Fujifilm juga mengkhususkan diri dalam nanoteknologi yang digunakan dalam vaksin mRNA, seperti yang berasal dari Pfizer dan Moderna.

Perusahaan yang berbasis di Tokyo ini mengembangkan tes PCR untuk virus korona yang memberikan hasil dalam 75 menit. Berbeda dengan metode lama yang membutuhkan beberapa jam.

Pada Maret 2021, Fujifilm mengembangkan perangkat deteksi untuk beberapa varian Covid-19. Sementara itu, obat influenza Avigan sedang dalam uji klinis untuk mengobati virus korona.

Kenshu Kikuzawa, seorang profesor administrasi bisnis di Universitas Keio Tokyo menyatakan bahwa Fujifilm memiliki kemampuan dinamis, kapasitas untuk melampaui pemotongan biaya, dan metode konvensional lainnya untuk menciptakan kembali dirinya sendiri.  

“Ini adalah sesuatu yang harus dipatuhi oleh perusahaan Jepang: melakukan apa yang mereka kuasai, seperti manufaktur dan material yang disesuaikan,” ujarnya.

“Kemampuan dinamis bukan tentang membangun dari nol. Ini adalah kemampuan untuk membangun aset, sumber daya, pengetahuan, dan teknologi yang sudah ada di perusahaan, untuk mengatur ulang, menggunakan kembali, dan memposisikannya kembali,” kata Kikuzawa kepada The Associated Press.

Belajar dari kegagalan Kodak

Shutterstock/JOKE777

Tanpa strategi jitu, mungkin Fujifilm akan berakhir karena gempuran kamera digital membuat penjualan kamera analog dan rol film menurun drastis. Langkah Fujifilm bisa dibilang sebagai diversifikasi efektif, meskipun bukan yang pertama kali.

Dahulu Kodak juga melakukan langkah tentatif ke bidang farmasi, mengakuisisi Sterling Drug pada 1988, tetapi menjualnya pada 1994. Perusahaan tersebut melaporkan kerugian bersih sebesar US$541 juta pada 2020.

Fujifilm mulai bersaing dengan Kodak ketika memenangkan sponsor untuk Olimpiade Los Angeles 1984. 

Mentransformasi semangat Bushido

Shutterstock/Josiah_S

Etos kerja para samurai Jepang menganut prinsip semangat pengabdian yang tercermin dari prinsip Bushido. Semangat ini melahirkan sebuah proses belajar tak kenal lelah, selalu melakukan perbaikan. 

Semangat ini membuat perusahaan Jepang masih cenderung menetapkan cakrawala jangka panjang. Usia rata-rata pergantian di Bursa Efek Tokyo, menurut Tokyo Shoko Research, hampir 90 tahun. Dalam menciptakan kembali dirinya sendiri, Fujifilm Holdings Corp menerapkan keterampilan tingkat mikron, yang digunakan untuk membuat film berwarna dalam obat-obatan dan kosmetik, kemudian secara bertahap berkembang menjadi teknologi medis canggih, yang menjadikannya fokus strategis.

Buku karya Komori pada 2015, “Berinovasi Keluar dari Krisis”, agak mirip dengan “The Book of Five Rings” karya pendekar pedang Musashi Miyamoto, dalam hal memberikan nasihat seperti zen: Hidup berarti melawan saingan, waktu, takdir, kesulitan, tradisi, dan pribadi, dan kelemahan.

“Masalah tetap ada, tapi saya yakin bahwa perusahaan Jepang memiliki potensi besar. Kekuatan utama perusahaan Jepang adalah teknologi,” katanya. “Teknologi ini ditopang oleh pekerja keras, karyawan setia, yang selalu berusaha untuk membuat sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang baru.”

Baru-baru ini, dalam membuka jalan bagi generasi kepemimpinan baru, Komori menyatakan bahwa dirinya berangkat dengan keyakinan tentang ke mana arah perusahaan, terutama mengingat kinerjanya di tengah pandemi. 

“Kami akan baik-baik saja. Tugas saya sudah selesai,” katanya. "Terima kasih, dan...sayonara!”

Related Topics

BisnisTips Bisnis

Magazine

SEE MORE>
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024
[Dis] Advantages As First Movers
Edisi Maret 2024
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023

Most Popular

Cara Daftar BRImo Secara Online Tanpa ke Bank, Ini Panduannya
Cara Cek Sertifikat Tanah secara Online, Tak Usah Pergi ke BPN
Jumlah Negara di Dunia Berdasarkan Keanggotaan PBB
Erick Thohir Buka Kemungkinan Bawa Kasus Indofarma ke Jalur Hukum
Daftar Emiten Buyback Saham per Mei 2024, Big Caps!
Pabrik BATA Purwakarta Tutup, Asosiasi: Pasar Domestik Menantang