Impor Baja Naik, Ini Dampak Bagi Industri dan Investasi Dalam Negeri

Angka impor baja naik 23 persen dibandingkan tahun 2020.

Impor Baja Naik, Ini Dampak Bagi Industri dan Investasi Dalam Negeri
Shutterstock/TGeorge
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengeluhkan kenaikan volume impor baja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor komoditas ini mengalami kenaikan 23 persen, dari semula 3,9 juta ton pada 2020 menjadi 4,8 juta ton pada 2021.

Ketua Umum Bidang Perbankan dan Keuangan BPP Hipmi Anggawira mengatakan tantangan sektor investasi baja nasional harus dihadapi dengan serius. Hipmi menyayangkan membanjirnya produk baja impor, karena akan merusak tatanan pasar di Indonesia dan berdampak negatif terhadap iklim investasi karena menjadi tidak menarik.

"Investasi mandek akan menghambat implementasi pembangunan klaster industri baja 10 juta ton Cilegon yang telah dicanangkan pemerintah dan ditargetkan selesai di 2025," ujar Anggawira dalam keterangan tertulisnya, Minggu (6/2).

Investasi sulit balik modal

Anggawira mengatakan investasi industri baja yang telah ditanamkan investor baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) hingga saat ini telah mencapai US$15,2 miliar atau setara Rp215 triliun. Menurutnya, nilai investasi tersebut begitu besar.

"Namun, sangat disayangkan bahwa impor baja juga tidak dijaga dengan baik, sehingga jangankan mencari keuntungan atas investasi tersebut, untuk return atau balik modal saja tentu akan sulit," ujarnya.

Ada indikasi unfair trade

Ketua Cluster Flat Product Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional (IISIA) Melati Sarnita mengakui bahwa industri baja sampai saat ini masih dihadapkan pada permasalahan utama, yaitu impor baja yang masih tinggi.

Peningkatan impor tersebut menurunkan tingkat utilisasi industri baja dalam negeri yang saat ini masih rendah, yaitu rata-rata hanya 40 persen. "Di samping itu, impor baja yang masuk ke pasar dalam negeri diindikasi banyak yang dilakukan dengan cara unfair trade seperti dumping dan circumvention (pengalihan pos tarif)," kata Melati.

Ia juga menyampaikan, praktik impor baja telah mengganggu kestabilan industri baja dalam negeri serta upaya yang sudah dilakukan. Sebab, kecenderungan impor yang masuk masih dilakukan secara unfair trade, baik dengan harga dumping (predatory pricing) maupun adanya praktik pengalihan kode HS dari baja karbon ke baja paduan.

"Pengajuan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) baik yang perpanjangan maupun yang baru sudah kita sampaikan, besar harapan kami pemerintah bisa memberlakukan kebijakan trade remedies seperti yang negara-negara lain sudah lakukan," ujar Melati.

Pemerintah harus kendalikan impor baja

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perindustrian, Bobby Gafur Umar, menyebutkan tingkat utilisasi baja dalam negeri idealnya adalah 80 persen. Namun hal itu pun tidak tercapai karena masuknya baja impor.

Tingkat utilisasi 40 persen, menurutnya, tidak terlalu baik dibandingkan industri lain seperti industri keramik. 

"Hal lainnya, serangan impor juga dilakukan dengan berbagai macam cara oleh para trader. Oleh karenanya Kadin berharap agar pemerintah secara konsisten menerapkan peraturan yang ada, khususnya untuk mengendalikan impor dan menjaga investasi yang sudah ditanamkan," katanya.
 

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Paylater Layaknya Pedang Bermata Dua, Kenali Risiko dan Manfaatnya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan
Bukan Cuma Untuk Umrah, Arab Saudi Targetkan 2,2 Juta Wisatawan RI
BI Optimistis Rupiah Menguat ke Rp15.800 per US$, Ini Faktor-faktornya
Rambah Bisnis Es Krim, TGUK Gandeng Aice Siapkan Investasi Rp700 M