Hilirisasi Tambang Indonesia Dinilai Lebih Untungkan Tiongkok

Faisal Basri kritik kebijakan hilirisasi Jokowi.

Hilirisasi Tambang Indonesia Dinilai Lebih Untungkan Tiongkok
Presiden Joko Widodo menandatangani baja produk terbaru saat meresmikan pabrik Hot Strip Mill 2 PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Kota Cilegon, Banten, Selasa (21/9). ANTARA FOTO/Biro Pers Media Setpres.
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ekonom senior, Faisal Basri, memandang kebijakan hilirisasi pertambangan justru menguntungkan pihak lain ketimbang memperkokoh industri dalam negeri. Pasalnya, hasil tambang yang diolah smelter justru diekspor dan tidak digunakan untuk mendukung produksi pabrik-pabrik domestik.

"Jadi bukan memperkokoh struktur industri, mengisi di bagian tengah yang kosong. Saya menyebutnya hollow middle," ujarnya dalam webinar bertajuk 'Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan", Selasa (11/10).

Ia mencontohkan lonjakan ekspor nickel pig iron (NPI) atau feronikel berkadar rendah ke Tiongkok pada 2020. Berdasarkan data International Trade Center, nilai ekspornya saat itu US$309,9 miliar. 

Padahal, menurut Faisal, komoditas tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pendukung industri di Indonesia. Lagi pula, nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan bijih nikel menjadi feronikel berkadar rendah tidak terlalu besar.

"Tujuan kita kan hilirisasi supaya kita bisa memperkokoh industri garpu, sendok, pisau bukan diekspor semua. Nah, ini kita lihat sebagian besar ekspor komoditas ini ke Cina, untuk mendukung hilirisasi Cina," ujarnya.

Di sisi lain, penetapan harga patokan mineral (HPM) di tengah upaya hilirisasi pertambangan juga merugikan pengusaha. Sebab, harga tersebut memiliki kesenjangan yang cukup tinggi dengan harga internasional.

Pada Semester I, misalnya, harga nikel kadar 1,8 persen di Shanghai Metal Market (SMM) dipatok US$79,61 per ton. Namun, HPM yang ditetapkan pemerintah hanya US$38,19 per ton. Penetapan harga memang tidak harus dengan besaran sama dengan harga internasional. Tetapi, menurut Faisal, HPM dan harga pasar internasional tidak terpaut jauh.

"Oke tidak harus US$79,61 per ton karena ini harga FOB/CIF. Katakanlah harga FOB bongkar muat segala macam pantas-pantasnya, ya, US$60 per ton atau sialnya US$50 deh (HPM-nya)," jelasnya.

Kerugian Pengusaha Tambang Nikel

Nickel Mining in Morowali. Shutterstock_Eri Saferi

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan meski HPM sudah merugikan para pengusaha pertambangan, masih banyak industri hilir yang enggan melakukan transaksi menggunakan harga acuan tersebut. Mereka justru lebih memilih menggunakan jasa traders yang dianggap masih terafiliasi. 

Bagi para penambang, ini tentu jadi masalah besar. Pasalnya, mereka diwajibkan untuk membayar royalti dan PPh berdasarkan besaran harga HPM. Lantaran itu, ia menilai praktik perdagangan industri nikel tak sesuai dengan ketentuan dalam Permen ESDM No.11/2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.

"Dalam pelaksanaannya, model perdagangan yang diwajibkan kepada kami yaitu kami menerima 99 persen kontrak harus dilalui traders," ujar Meidy.

Belum lagi, mayoritas harga nikel yang dibeli industri adalah HPM free on board (FOB) di mana subsidi untuk biaya transportasi yang diberikan maksimal US$ 3 per ton. Imbasnya penambang harus menanggung biaya transportasi yang lebih besar untuk pengiriman dari lokasi yang jauh.

Misalnya, jika HPM yang digunakan adalah US$40 per ton, maka harga yang digunakan dalam transaksi hanya US$43 per ton setelah ditambah subsidi transportasi. Padahal, kata Meidy, biaya transportasi bisa mencapai US$8-US$12 per ton. Alhasil, mereka bisa menambal selisih ongkos dengan subsidi hingga US$5-US$9 dolar per ton.

Kerugian lain yang dialami penambang juga bisa berasal dari selisih hitung kadar nikel yang menyebabkan mereka harus membayar penalti. Musababnya, hanya ada dua surveyor yang mendominasi perdagangan di sisi hilir sementara kontrak perdagangan nikelnya mencapai 5.542.

Karena itu, pemerintah harus melakukan investigasi untuk melihat apakah terjadi kesalahan hitung kadar oleh surveyor. "Kita berhitung secara logika itu sangat tidak mungkin apakah satu perusahaan ini bisa menampung seluruhnya," kata Meidy.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Maret 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

17 Film Termahal di Dunia, Memiliki Nilai yang Fantastis
Ada Modus Bobol Akun Bank via WhatsApp, Begini Cara Mitigasinya
Bea Cukai Kembali Jadi Samsak Kritik Warganet, Ini Respons Sri Mulyani
Rumah Tapak Diminati, Grup Lippo (LPCK) Raup Marketing Sales Rp325 M
Bahlil: Apple Belum Tindak Lanjuti Investasi di Indonesia
Stanchart: Kemenangan Prabowo Tak Serta Merta Tingkatkan Investasi