Unilever Terus Kejar Akuisisi GSK Meski Telah Ditolak

GSK menolak akuisisi dari Unilever senilai Rp900-an triliun.

Unilever Terus Kejar Akuisisi GSK Meski Telah Ditolak
Gedung kantor pusat Unilever di Rotterdam, Belanda. Shutterstock/Dmitry Rukhlenko
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Unilever mengisyaratkan tak bakal menyerah dalam proses akuisisi GlaxoSmithKline atau GSK meski telah mengalami penolakan. 

"Akuisisi ini akan menciptakan skala dan platform pertumbuhan untuk portofolio gabungan di Amerika Serikat, Tiongkok, dan India, dengan peluang lebih lanjut di pasar negara berkembang lainnya," demikian pernyataan Unilever seperti dikutip dari Reuters pada Selasa (18/1) sembari mengutip soal sinergi dalam bisnis perawatan mulut dan suplemen vitamin.

GSK, perusahaan farmasi multinasional dengan produk-produk seperti Sensodyne, Panadol, dan vitamin C Emergen-C, pada Sabtu (15/1), mengumumkan telah menerima tiga proposal terkait akuisisi bisnis layanan kesehatan konsumen dari Unilever. Perseroan menerima proposal terakhir pada 20 Desember 2021, dan di dalamnya terdapat penawaran nilai akuisisi 50 miliar pound atau setara Rp975 triliun (asumsi kurs Rp19.450).

“GSK menolak ketiga proposal yang dibuat atas dasar bahwa mereka (Unilever) pada dasarnya meremehkan bisnis layanan kesehatan konsumen dan prospek masa depannya,” demikian pernyataan manajemen GSK dalam situs resminya. Menurut mereka, proposal penawaran tersebut gagal mencerminkan nilai intrinsik bisnis beserta potensinya. Sebagai informasi, bisnis layanan kesehatan konsumen GSK adalah usaha patungan (joint venture) dengan Pfizer, perusahaan farmasi asal Amerika Serikat (AS).

GSK minta 60 miliar pound

Menurut sumber anonim Reuters, GSK telah mempekerjakan Goldman Sachs dan Citigroup untuk meninjau pendekatan Unilever tersebut. Namun, mereka tidak akan terlibat dalam pembicaraan kecuali Unilever menaikkan tawarannya.

GSK dan Pfizer akan membuka negosiasi dengan Unilever jika raksasa produk konsumen itu meningkatkan tawarannya menjadi lebih dari 60 miliar pound atau senilai Rp1.170 triliun, kata sumber sama.

Ekspansi bisnis kesehatan

Unilever menyatakan bahwa perseroan telah menyimpulkan arah strategis masa depan, yang terletak pada perluasan bisnis kesehatan, kecantikan dan kebersihan. Menurut mereka, seperti dikutip dari BBC, akuisisi besar harus disertai dengan percepatan divestasi merek dan bisnis yang secara intrinsik lebih rendah pertumbuhannya.

Pembelian Unilever pada bisnis konsumen akan menjadi salah satu kesepakatan terbesar secara global sejak awal pandemi COVID-19. Hal itu juga akan meningkatkan strategi pertumbuhan Unilever, karena mereka tengah tertekan untuk membalikkan harga saham perusahaan yang lesu, mengatasi biaya tinggi, dan margin tipis.

Menanggapi rencana akuisisi Unilever, Analis Hargreaves Lansdown Laura Hoy mengatakan ada kemungkinan besar Unilever akan menaikkan tawarannya. "Berdasarkan arah strategis baru Unilever mungkin ada tawaran lain yang sedang dikembangkan,” ujarnya,

Sementara, analis dari CMC Markets Michael Hewson, mengatakan agak mengejutkan bahwa GSK dan Pfizer menolak Unilever. Sebab, menurutnya, nilai akuisisi itu layak. "Mungkin untuk GlaxoSmithKline dan Pfizer (murah), namun ada perasaan bahwa untuk Unilever itu bisa jadi terlalu mahal," katanya. 

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Cara Daftar OpenSea dengan Mudah, Lakukan 6 Langkah Ini
11 Bahasa Tertua di Dunia, Ada yang Masih Digunakan
GoTo Lepas GoTo Logistics, Bagaimana Nasib GoSend?
BTPN Syariah Bukukan Laba Rp264 miliar di Kuartal I-2024
Astra International (ASII) Bagi Dividen Rp17 Triliun, Ini Jadwalnya
Microsoft Umumkan Investasi Rp27 Triliun di Indonesia