Jakarta, FORTUNE - Pengenaan tarif baru oleh Amerika Serikat dinilai bukan sekadar kebijakan dagang biasa, melainkan strategi sistematis untuk melemahkan Cina di segala lini. Hal ini disampaikan oleh Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Riandy Laksono, dalam media briefing bertajuk "Merespon Kebijakan Tarif Trump", Kamis (10/7).
"Kalau bisa saya sarikan, melihat tarif juga transshipment, sepertinya ini makin jelas bahwa Amerika ingin menghambat Cina at all level (di semua level). Jadi tujuan utamanya menghambat Cina secara menyeluruh," ungkap Riandy.
Kebijakan tarif resiprokal AS yang diumumkan pada Senin (7/9) lalu, menurut Riandy, menyasar negara-negara mitra dagang termasuk di kawasan ASEAN, dengan alasan untuk menghindari praktik transshipment atau upaya pengalihan jalur produk Cina agar terlihat berasal dari negara lain.
Namun, Riandy menyoroti bahwa definisi transshipment yang dimaksud oleh AS masih belum jelas. Ia mempertanyakan apakah label tersebut hanya berlaku bagi produk yang sekadar mengganti asal negara di kemasan, atau juga mencakup penggunaan bahan baku Cina oleh pabrik-pabrik di negara lain.
"Permasalahannya sampai sekarang belum jelas transshipment itu apa. Tetapi banyak analis menduga, yang dimaksud lebih dari sekadar mengganti logo," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam konteks perdagangan bebas, transformasi kode HS (Harmonized System) dan perubahan signifikan pada struktur produk biasanya menjadi penentu asal barang. Misalnya, jika suatu negara mengimpor chip dari Cina lalu merakitnya menjadi laptop untuk diekspor ke AS, maka barang itu bisa dianggap bukan lagi produk transshipment.