Jakarta, FORTUNE — Pemerintah Indonesia mencermati potensi gejolak perdagangan global akibat kebijakan tarif agresif yang dicanangkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kementerian Perdagangan menggarisbawahi skema tarif baru Washington berisiko menekan kinerja ekspor dan impor nasional. Kebijakan tarif resiprokal 32 persen dan tarif baseline baru 10 persen, yang menyasar hampir seluruh negara, termasuk Indonesia, telah memicu perhatian serius Jakarta.
“Buat Indonesia, ini berdasarkan kalkulasi kami bisa menurunkan kinerja ekspor maupun impor dengan range yang berbeda-beda untuk masing-masing sektor,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, Senin (21/4).
Ia menambahkan, meskipun angka penurunan kuantitatif belum final, sektor-sektor strategis seperti baja, aluminium, otomotif, beserta komponennya, menghadapi ancaman tarif sektoral tambahan sebesar 25 persen. Djatmiko menjelaskan pemberlakuan tarif sektoral ini akan menggantikan tarif dasar 10 persen dan tarif resiprokal 32 persen untuk komoditas terkait. Namun, risiko tekanan terhadap capaian ekspor tetap signifikan.
“Tarif dasar baru berlaku mulai 5 April 2025, dan tarif resiprokal masih ditunda selama 90 hari. Tapi kalau misalnya sektor baja atau otomotif kita sudah kena tarif sektoral, maka yang lain tidak diberlakukan,” ujarnya.
Menghadapi potensi perlambatan perniagaan ini, pemerintah tidak bersikap pasif. Di tengah tantangan, Indonesia justru mengamati adanya celah potensial bagi masuknya investasi asing langsung (FDI)—sebuah konsekuensi logis dari pergeseran rantai pasok global yang dipicu eskalasi tarif semacam ini.
“Secara kuantitatif memang belum disebutkan angkanya, tapi ada prediksi peningkatan FDI apabila tarif ini berlaku,” ujarnya.