Jakarta, FORTUNE - Kontribusi komoditas kelapa sawit mendominasi kinerja perekonomian Indonesia selama dua dekade terakhir. Kementerian Perindustrian memperkirakan, nilai ekonomi hilirisasi sawit bisa tembus Rp450 triliun pada akhir tahun ini.
Minyak sawit telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, nonpangan, hingga bahan bakar terbarukan, bahkan juga menjadi komoditas ekspor unggulan untuk menciptakan devisa negara dari ekspor produk yang bernilai tambah tinggi.
“Pencapaian program hilirisasi industri sawit ini terlihat dari dua indikator, yaitu ragam produk hilir, dan rasio ekspor bahan baku dengan produk hilirnya,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika pada Seminar Outlook Industri Sawit Indonesia dikutip, Kamis (21/11).
Jenis produk hilir sawit terus naik signikan. Jika pada 2010 hanya terdapat 54 jenis, per tahun lalu meningkat menjadi 193 jenis. Sementara itu, rasio ekspor bahan baku dan produk hilir sawit juga kian melonjak.
Pada 2010, rasionya 40 persen bahan baku dan 60 persen produk hilir sawit, kini jumlahnya berbalik masing-masing menjadi 7 dan 93 persen. “Ini menandakan bahwa kebijakan hilirisasi berjalan dengan baik,” ujarnya.
Adapun, dampak luas yang diberikan industri pengolahan sawit di Indonesia, antara lain terlihat dari jumlah penyerapan tenaga kerja langsung dan tidak langsung sebanyak 17 juta orang. Sektor ini memberikan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 3,5 persen.
Sedangkan terhadap ekspor nonmigas, industri memberikan andil sebesar 11,6 persen atau senilai Rp450 triliun sepanjang 2023.
“Sedangkan, nilai ekonomi industri ini mencapai Rp193 triliun pada triwulan II 2024, dan diproyeksi akan menembus Rp775 triliun hingga akhir tahun ini,” ungkap Putu.
Menurutnya, industri pengolahan sawit telah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru khususnya di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, dan wilayah lainnya di timur Indonesia.
“Penumbuhan pusat baru industri berbasis sawit di luar Jawa, yang sudah ada saat ini antara lain di Dumai-Riau, Sei Mangkei-Sumut, Tarjun-Kalsel, Kotawaringin Barat-Kalteng, Bitung-Sulut, dan Balikpapan-Kaltim. Ini juga artinya menumbuhkan aglomerasi atau kawasan industri baru berbasis sawit,” tutur Putu.
Dirjen Industri Agro menambahkan, penumbuhan industri pengolahan sawit telah mampu menggerakkan aktivitas produktif kegiatan usaha, khususnya di daerah terluar, tertinggal, dan terpencil (3T).
Potensi pengembangan industri hilir kelapa sawit nasional masih sangat terbuka, khususnya pada pemanfaatan biomassa sawit yang selama ini masih belum optimal. “Sebab saat ini, hilirisasi masih bertumpu pada pengolahan produk minyak sawit sehingga laju hilirisasi masih bergantung pada ketersediaan bahan baku minyak sawit mentah,” katanya.
Meski begitu, pasokan minyak sawit mentah dari sektor perkebunan masih menghadapi tantangan, antara lain penurunan produktivitas akibat penyakit tanaman, kendala agroklimat dan perubahan iklim, penerapan gap yang belum optimal, dan luas perkebunan yang masuk usia tua sehingga perlu di-replanting.
“Tantangan berikutnya adalah menurunkan emisi karbon dari kegiatan usaha perkelapasawitan nasional, dan mengoptimalkan nilai ekonomi karbon yang menyertainya,” ujar Putu.
Oleh karena itu, aspek sustainability dan traceability menjadi prasyarat produk hilir kelapa sawit masuk skala pemasaran global, di tengah ancaman kampanye negatif dan hambatan perdagangan lainnya. “Tantangan untuk mengangkat level kapabilitas hilirisasi nasional dapat dijawab dengan upaya research and development yang berorientasi pada komersialisasi skala industri,” ucap Putu.