Ilustrasi driver ojol Grab (grab.com)
Pendapat dari pihak aplikator mengenai wacana ini juga beragam. Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, menyampaikan bahwa kebijakan ini justru bisa merugikan ekosistem transportasi digital yang telah terbentuk. "Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu,” jelas Tirza saat ditemui beberapa waktu lalu.
Ia juga mengingatkan bahwa skema kerja saat ini justru berfungsi sebagai bantalan sosial bagi banyak orang, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi. “Jika kita ubah semuanya jadi karyawan, barrier to entry akan naik. Hanya sebagian orang yang akan bisa bekerja, sementara jutaan yang lain kehilangan akses untuk mencari nafkah,” ungkap Tirza.
Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para mitra pengemudi, tetapi juga pada banyak usaha kecil dan menengah (UMKM) yang bergantung pada layanan GrabFood, GrabMart, dan lainnya.
Lebih lanjut, Tirza juga menambahkan bahwa jika pengemudi diubah menjadi pekerja tetap, perusahaan akan menanggung biaya tetap yang mungkin tidak selalu sebanding dengan tingkat permintaan. “Biaya operasional bisa melonjak, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga layanan yang harus dibayar oleh konsumen,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Utama GoTo, Andre Soelistyo juga sempat mengungkapkan bahwa 50 persen pengemudi aktif Gojek bekerja sebagai part timer. Artinya mereka bekerja sebagai pegawai ataupun mahasiswa, namun juga mencari tambahan sebagai driver ojol.
"Bahwa kalau ada kesempatan kerja tambahan menambahkan income semua ingin melakukan. Apalagi memang kami lihat, semua mitra tekadnya kuat untuk maju. Jadi kalau dilihat black and white tetap atau tidak tetap itu kalau kita membicarakan seperti itu konsekuensi terhadap kesempatan kerja tidak dilihat secara menyeluruh," jelasnya.