Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengingatkan potensi dampak perang dagang akibat kebijakan tarif yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Meskipun sektor manufaktur nasional tengah berada dalam fase ekspansi, kewaspadaan tetap diperlukan.
Pemulihan industri manufaktur Indonesia tecermin pada Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang pada Februari 2025 berada pada level ekspansi 53,6. Angka ini meningkat 1,7 poin dibandingkan Januari 2025 yang mencapai 51,9.
Sebelumnya, pada periode Juli hingga November 2024, PMI manufaktur Indonesia sempat berada di bawah batas indeks 50, yang menandakan kontraksi.
"Kita sempat terdampak secara kontraktif, tetapi kemudian mengalami pemulihan. Secara global, pemulihan memang sudah mulai terlihat, tetapi Indonesia bangkit lebih tajam dan lebih cepat dibandingkan negara lain maupun rata-rata global," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Maret 2025, Kamis (13/3).
Meskipun kebijakan tarif AS tidak langsung menyasar Indonesia, negara ini tetap harus berhati-hati karena aturan tersebut berlaku bagi negara yang memiliki surplus dagang terhadap AS.
Indonesia sendiri menempati peringkat ke-15 dalam daftar negara dengan surplus perdagangan terhadap Amerika, dengan nilai mencapai US$19,3 miliar.
Hal ini berarti Indonesia turut berkontribusi terhadap defisit perdagangan AS pada 2024.
Sri Mulyani merasa istilah negara teman atau sahabat sudah tidak relevan. Ia mencontohkan bagaimana Kanada yang selama ini dekat dengan AS juga kena sikat Donald Trump.
"Bagaimana kurang friend Amerika dan Kanada itu? Jadi, tadinya disebutkan, 'Oh, kalau kamu berteman, kita aman'. Ternyata, definisi friends tidak ada lagi di dalam konteks hari ini," kata Sri Mulyani.