Bursa Efek Indonesia (BEI) terus menggodok revisi Peraturan BEI Nomor 1-A sebagai upaya mendorong perusahaan rintisan (start up) untuk melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham. Langkah tersebut sebagai salah satu pendorong agar banyak startup di berbagai level bisa IPO.
”Revisi ini dilakukan agar bisa mengakomodasi berbagai perusahaan, termasuk unicorn yang membidik papan utama sebagai listing board mereka,” kata Head of Incubator IDX Indonesia Aditya Nugraha dalam webinar Amvesindo Perjalanan Startup Menuju IPO, Kamis (16/9) lalu.
BEI melakukan revisi peraturan tersebut karena terdapat sejumlah poin yang tidak sesuai dengan karakteristik perusahaan yang terus berkembang belakangan, termasuk tetapi tidak terbatas terhadap perusahaan teknologi rintisan.
Aditya mencontohkan seperti perusahaan yang karakteristiknya masih fokus meningkatkan pangsa pasar dan belum laba, tetapi valuasinya besar dan berpotensi menjadi salah satu fund raiser terbesar di pasar modal Indonesia. Pasalnya, dalam aturan yang ada saat ini, pencatatan di papan utama mewajibkan calon perusahaan tercatat untuk sudah membukukan laba usaha paling tidak dalam kurun satu tahun terakhir.
Selain itu, syarat pencatatan di papan utama lainnya adalah nilai minimum net tangible asset (NTA) sebesar Rp100 miliar. Bursa pun akan melakukan penyesuaian pengaturan sehingga calon perusahaan tercatat, termasuk unicorn, dapat menggunakan lima alternatif persyaratan, yaitu net tangible asset dan laba usaha, agregat laba sebelum pajak 2 tahun terakhir dan nilai kapitalisasi pasar.
Di lain sisi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perkembangan pasar modal dengan akomodasi perusahaan berkaitan dengan new economy untuk mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).
OJK pun mengeluarkan peraturan OJK (POJK) Nomor 22/POJK.04/2021 tentang penerapan klasifikasi saham dengan hak suara multipel oleh emiten dengan inovasi dan tingkat pertumbuhan tinggi yang melakukan penawaran umum efek bersifat ekuitas berupa saham.