BUSINESS

Perluas Cakupan E-Commerce Hingga Jauh ke Desa: Belajar dari Tiongkok

Di Tiongkok ada Desa Taobao, pusat pengembangan e-commerce.

Perluas Cakupan E-Commerce Hingga Jauh ke Desa: Belajar dari TiongkokShutterstock/William Potter
03 September 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Meski belasan juta orang Indonesia telah berjibaku dengan aktivitas berdagang daring (e-commerce), penyebarannya masih berpusat di Pulau Jawa, demikian laporan bertajuk "Beyond Unicorns" dari Bank Dunia yang dirilis pada akhir Juli. Padahal, memperluas jangkauan aktivitas e-commerce juga dapat membantu pemerataan ekonomi.

Ada beberapa kendala yang menghambat penyebaran aktivitas e-commerce di Tanah Air. Apa saja? Lalu, bagaimana cara mengatasinya, agar kegiatan berjualan daring tak hanya berpusat di Pulau Jawa?

Mengacu pada hasil temuan dalam laporan Bank Dunia itu, mari simak ulasan berikut tentang hambatan dan cara menyiasati penyebaran kegiatan e-commerce hingga ke area pedesaan.

1. Konektivitas Internet dan Logistik Pengaruhi Penyebaran Aktivitas E-Commerce

Bukan tingkat pendapatan saja yang berpengaruh pada jumlah penjual dan pembeli e-commerce, faktor seperti penetrasi internet, listrik, harga logistik, dan UMR populasi juga berperan penting.

Para peneliti dalam laporan Beyond Unicorns menyebut, aksesibilitas internet di antara populasi dan harga logistik berdampak pada pertumbuhan aktivitas e-commerce. Artinya, penetrasi kegiatan jual-beli daring meningkat lebih pesat di provinsi dengan akses internet merata dan harga logistik yang cenderung menurun.

Terlebih, di negara kepulauan seperti Indonesia, logistik tentunya menjadi tantangan besar dalam mengirim produk jualan daring. Ada ketimpangan kondisi jalur di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Denpasar ketimbang dengan kota terpencil. 

2. Inovasi Berbasis Teknologi Bantu Tangani Tantangan Logistik

Di tengah tantangan logistik yang menghambat penyebaran aktivitas jual-beli daring, hadir layanan logistik berbasis aplikasi, seperti GoSend, GrabExpress, Paxel, AnterAja, dan sebagainya.

Menurut survei Paxel pada 2019, pembeli dan penjual e-commerce yang siap membayar lebih untuk pengiriman lebih cepat semakin bertambah. Akibatnya, ongkos kirim per paket pun menjadi lebih mahal. 

Pada akhirnya, para perusahaan logistik berbasis teknologi melahirkan model dan strategis bisnis baru karena fenomena itu. Mereka mulai menyediakan layanan pengiriman antarkota yang terjangkau, baik itu sampai di hari yang sama maupun besoknya.

Meski begitu, upaya inovatif itu mayoritas masih berlaku di daerah perkotaan besar dan kota-kota satelitnya.

Karena itu, para pemain e-logistic memiliki PR untuk mengembangkan efisiensi pengiriman, memperluas kota untuk layanan pengiriman hari yang sama--tetapi dengan harga serupa dengan Pulau Jawa, hingga mempercepat pengiriman ke luar Jawa, Sumatra, dan Bali.

Related Topics