Yogyakarta, FORTUNE - Di tengah derap cepat perubahan arsitektur modern, ketika marmer, granit, dan vinyl mendominasi pasar material bangunan, tegel kunci tetap menapak kukuh di atas sejarahnya sendiri. Dari balik dinding pabrik di Pakem, Yogyakarta. Di dalamnya, tangan-tangan para pengrajin bekerja dalam ritme yang sudah berumur hampir satu abad—menuang campuran semen, pasir, dan pigmen warna ke cetakan kuningan.
Setiap ubin terangkat dari press besi dengan hati-hati, seolah benda rapuh yang menyimpan sejarah. Inilah Tegel Kunci, produsen ubin semen legendaris yang berdiri sejak 1927, ketika arsitektur kolonial Belanda tengah bersemi di Hindia Belanda.
Kini, hampir seabad kemudian, pabrik itu tetap hidup berkat Mega Puspa Arifien Karang, perempuan lulusan seni kriya logam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang menghidupkan kembali pabrik ini setelah nyaris punah.
“Pertama kali kita lihat pabriknya tahun 1997, saya dan suami saya waktu itu melihat pabriknya masih berjalan, potensi artistiknya masih banyak, tapi yang dicetak itu hanya batako dan material yang tidak ada nilai seninya,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, (9/10). “Kami tidak terlalu pikir dari segi bisnisnya, lebih melihat dari potensi artistiknya... supaya bisa berproduksi lagi.”
Krisis ekonomi 1997–1998 justru menjadi momentum awal kebangkitannya. Alih-alih menutup usaha baru, Mega menggunakan waktu itu untuk mendata dan merestorasi ratusan cetakan lama yang sebagian besar sudah tak bisa digunakan. “Kami mulai merestorasi cetakan-cetakan. Setelah itu kita perbaiki, baru setahun kemudian benar-benar bisa mencetak tegel.”
Hasilnya, dari 114 cetakan yang tersisa di awal, kini Tegel Kunci memiliki lebih dari 850 cetakan dan 49 warna. Sebuah kebangkitan yang tidak hanya menyelamatkan satu pabrik tua, tetapi juga menghidupkan kembali warisan desain tropis yang pernah mewarnai bangunan kolonial di Nusantara.