Jakarta, FORTUNE - Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu (9/4) mengumumkan penangguhan sementara selama 90 hari terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diperkenalkan minggu lalu. Sebagai gantinya, ia memilih menerapkan tarif universal yang lebih rendah, yakni sebesar 10 persen.
Lewat unggahan di platform Truth Social, Trump menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak berlaku untuk Cina. Justru, tarif terhadap negeri Tirai Bambu itu dinaikkan menjadi 125 persen, dengan alasan bahwa China telah menunjukkan "kurangnya rasa hormat" terhadap pasar global. Sebelumnya, tarif untuk Cina sudah ditingkatkan hingga 104 persen.
"Suatu saat nanti, semoga tidak lama lagi, Cina akan sadar bahwa era menipu Amerika Serikat dan negara lain sudah berakhir," tulis Trump dalam unggahannya.
Mengutip laporan dari Fortune, Trump juga menyampaikan bahwa sekitar 75 negara telah menghubungi Amerika Serikat (AS) untuk menjajaki peluang negosiasi perdagangan. Salah satunya adalah Vietnam, yang saat ini dikenai tarif sebesar 46 persen. Vietnam menawarkan untuk menghapus seluruh tarif impor terhadap produk AS menjadi nol persen.
Negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang juga telah menunjukkan minat untuk bernegosiasi, masing-masing dikenakan tarif sebesar 25 persen dan 24 persen.
Pengumuman penangguhan tarif selama 90 hari ini langsung memberikan angin segar bagi pasar modal. Ketiga indeks utama di Wall Street melonjak tajam pada Rabu sore. Nasdaq yang banyak diisi oleh saham teknologi memimpin dengan kenaikan hampir 8 persen, sementara S&P 500 naik 6 persen dan Dow Jones menguat 5,2 persen. Saham Apple bahkan melesat lebih dari 11 persen usai pengumuman tersebut.
Langkah ini datang di tengah meningkatnya kekhawatiran akan resesi dan tekanan dari sejumlah tokoh besar di dunia keuangan, seperti CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon, CEO BlackRock Larry Fink, dan manajer hedge fund Bill Ackman. Selain itu, Ken Griffin—miliarder dan donatur utama Partai Republik—juga mengkritik tarif tersebut sebagai kebijakan keliru yang berpotensi menggerus posisi kepemimpinan Amerika di panggung global.