Kesenjangan untuk Mengakhiri Penggunaan Bahan Bakar Fosil

19 negara siap hentikan pembiayaan proyek bahan bakar fosil.

Kesenjangan untuk Mengakhiri Penggunaan Bahan Bakar Fosil
Ilustrasi PLTU. (Pixabay/Benita Welter)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Seperti masalah tanpa akhir, kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang dalam menyikapi penggunaan bahan bakar fosil masih terus berlangsung. Negara maju terus berupaya mengakhiri penggunaan bahan bakar kotor, sementara negara berkembang yang pendapatannya lebih rendah tetap bergantung pada batu bara dan bahan bakar fosil lainnya untuk tumbuh.

Mengutip Reuters (4/11), sebanyak 19 negara berencana untuk berkomitmen dalam menghentikan pembiayaan berbagai proyek bahan bakar fosil di luar negerinya pada akhir tahun depan. Walaupun belum resmi, sejumlah negara juga bergabung dengan Beyond Oil and Gas Alliance, yang dipimpin oleh Denmark dan Kosta Rika, untuk menghentikan produksi bahan bakar fosil secara bertahap di dalam perbatasan mereka sendiri.

Serangkaian janji baru yang bertujuan membatasi produksi dan penggunaan minyak, gas, dan batu bara pun menjadi fokus berbagai negara pada COP26 di Glasgow, Skotlandia. Negara-negara seperti Polandia, Vietnam, Chili, dan lainnya diharapkan berjanji untuk menghentikan listrik berbahan bakar batu bara, termasuk penghentian pembangunan pembangkit baru.

Menurut Inggris, kesepakatan ini akan mengikat 190 negara dan organisasi. Namun, masih belum jelas apakah kesepakatan ini akan melibatkan negara-negara yang memiliki rencana mengembangkan pembangkit listrik tenaga batu bara, seperti Tiongkok, India, Indonesia, dan Turki.

Indonesia butuh bantuan keuangan untuk mempercepat emisi nol karbon

Menteri keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menyatakan Indonesia dapat menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap hingga 2040 jika mendapat bantuan keuangan yang cukup banyak dari masyarakat dunia.

Sebagai pengekspor batu bara terbesar di dunia, Indonesia adalah penghasil gas rumah kaca terbesar ke-8 dan batu bara membentuk 65 persen dari bauran energinya. Namun, pada 2060, Indonesia berencana untuk mencapai emisi nol karbon bersih.

Menurut Sri Mulyani, Indonesia akan membutuhkan dukungan internasional untuk memastikan tarif listrik tetap terjangkau ketika beralih ke sumber energi terbarukan. Sebagai perrhitungan sementara, Indonesia membutuhkan dana sekitar 10-23 miliar dolar AS.

“Jika ini semua harus dibiayai dari uang para pembayar pajak kami (Indonesia), itu tidak akan berhasil. Dunia bertanya kepada kami, jadi sekarang pertanyaannya adalah apa yang bisa dilakukan dunia untuk membantu Indonesia,” kata Sri Mulyani kepada Reuters.

ADB apresiasi upaya yang dilakukan Indonesia

Wakil Presiden Asian Development Bank (ADB), Ahmed M. Saeed, mengapresiasi upaya Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim dengan menghentikan sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan beralih ke energi terbarukan. Hal ini dikatakannya seiring dengan dukungan ADB dalam kemitraan bersama Indonesia dalam mekanisme transisi energi (ETM) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari penggunaan batu bara.

Menurut Saeed, Indonesia punya bauran penggunaan batu bara yang cukup besar dalam pemenuhan energi listrik, namun berani untuk melakukan transisi ke energi yang lebih bersih. “Pemerintah Indonesia menerima banyak pujian atas pendekatan yang sangat inovatif untuk menangani masalah pembangkit listrik tenaga batu bara ini,” katanya seperti dilansir Antara (4/11).

Tujuan COP26 untuk amankan janji negara dunia

Tujuan utama pembicaraan dalam COP26 adalah untuk mengamankan janji negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang sebagian besar berasal dari batu bara, minyak dan gas, yang cukup untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius. 

Reuters menulis batu bara menyalakan sekitar 37% listrik dunia. Dengan adanya pasokan lokal yang murah dan melimpah, bahan bakar tersebut mendominasi produksi listrik di negara-negara termasuk Afrika Selatan, Polandia, maupun India.

Utusan iklim PBB, Mark Carney, mengatakan pemenuhan tujuan iklim internasional dapat menelan biaya sekitar US$100 triliun selama tiga dekade ke depan. Ia meminta industri keuangan swasta untuk mengumpulkan dana dalam rangka melengkapi apa yang dapat dilakukan negara.

Magazine

SEE MORE>
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024
[Dis] Advantages As First Movers
Edisi Maret 2024
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023

IDN Media Channels

Most Popular

Cara Buka Rekening Bank Mandiri Online, Praktis dan Cepat!
4 Cara Download Video CapCut Tanpa Watermark Terbaru 2024
Cara Cek Sertifikat Tanah secara Online, Tak Usah Pergi ke BPN
Apa itu Monkey Business? Ini Ciri-ciri dan Cara Menghindarinya
Memasuki 39 Tahun, MSIG Life Kenalkan Budaya Kerja Baru
Omnicom Media Group Angkat Rohan Mahajan Jadi COO–Layanan Media