Sambut COP26, ASEAN Memulai Komitmen Energi Terbarukan

ASEAN berambisi menggunakan energi terbarukan di kawasan.

Sambut COP26, ASEAN Memulai Komitmen Energi Terbarukan
Sumber energi bumi. (ShutterStock/PopTika)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Konferensi Perubahan Iklim PBB, Conference of the Parties (COP) 26 akan mulai digelar pada 31 Oktober di Glasgow, Skotlandia. Pertemuan itu dianggap sebagai peluang terakhir negara-negara dunia untuk mengumumkan secara tegas target pengurangan emisi demi meredam dampak buruk perubahan iklim dunia.

Melansir Reuters (27/10), negara-negara Asia Tenggara pun berkontribusi dengan percepatan rencana transmisi energi terbarukan melalui jaringan listrik regional. Hal ini merupakan bagian dari pemenuhan target perubahan iklim dan akan mulai diujicobakan pada 2022.

Selain itu, beberapa negara anggota Asean mulai mengeksplorasi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) untuk mengurangi emisi. Rencananya, 23% energi primer di kawasan Asean sudah berasal dari sumber energi terbarukan pada 2025.

Menanggapi hal ini, Gauri Singh, Wakil Direktur Jenderal International Renewable Energy Agency (IRENA), mengatakan investasi terkait energi terbarukan adalah hal yang sangat positif. “Asean benar-benar ingin mendatangkan hampir seperempat energi dari energi terbarukan pada tahun 2025. Itu adalah tujuan yang sangat ambisius. Untuk itu, saya pikir kerja sama internasional, dan kerja sama regional akan memainkan peran yang teramat penting,” ujarnya.

Sejumlah investasi energi terbarukan di ASEAN

Singapura akan mulai mengimpor listrik terbarukan dari Malaysia pada 2022. Kemudian pada tahun yang sama, utilitas di Asean akan mulai mentransmisikan 100 megawatt (MW) listrik pertama di bawah proyek integrasi daya Laos-Thailand-Malaysia-Singapura sebagai bagian dari proyek jaringan regional The Asean Power Grid (APG).

Jaringan itu merupakan gagasan yang pertama kali diusulkan pada 1999 untuk meningkatkan keamanan energi regional. Namun, seiring perkembangan urgensi kebutuhan khalayak di kawasan ASEAN, sekarang istilah ini digunakan untuk menyebut fasilitas transmisi tenaga terbarukan.

Australia akan mulai membangun Australia-Asia PowerLink pada akhir 2023. Kabarnya, proyek energi ini juga akan ambil bagian dengan mengekspor energi dari pembangkit listrik tenaga surya dan fasilitas penyimpanan baterai terbesar dunia di wilayah utara Australia ke Singapura mulai 2027.

"Dengan sektor listrik menyumbang hampir seperempat dari emisi global, dekarbonisasi pembangkit listrik adalah inti dari upaya perubahan iklim global," kata Gan Kim Yong, Menteri Perdagangan dan Industri Singapura, dalam sebuah pidato dikutip Reuters.

Proyek lain terkait upaya penyaluran energi terbarukan di seluruh kawasan Asean adalah kerja sama Sunseap Group dan Sembcorp Industries Singapura, Perusahaan Listrik Negara (PLN) Batam, dan PT Trisurya Mitra Bersama (Suryagen) dari Indonesia. Proyek ini akan mengembangkan sistem tenaga surya di Kepulauan Riau, Indonesia, untuk menyediakan listrik bagi kota tersebut.

CCS mendukung keberhasilan penerapan energi terbarukan di ASEAN

Tak dapat dipungkiri, walaupun energi terbarukan terus dikembangkan di kawasan Asean, tapi masih banyak negara anggotanya yang bergantung pada bahan bakar berbasis fosil, terutama untuk pembangkit listrik. Untuk itu, CCS bisa jadi salah satu solusi dalam mengurangi emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik dengan tenaga yang bersumber dari batu bara.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Arifin Tasrif, kepada Reuters. "Kawasan ASEAN dalam beberapa hal masih bergantung pada tenaga batu bara. Situasi ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati ketika menetapkan jalan kita menuju netralitas karbon, dan upaya signifikan harus dilakukan," ujarnya.

Menurutnya, teknologi penangkapan karbon sangat penting bagi strategi Indonesia untuk mencapai tujuan bersih nol emisi, dan Indonesia akan mulai menggunakannya pada 2030. Seiring dengan hal ini, Exxon Mobil Corp sedang mengembangkan CCS di seluruh Asia dan mulai untuk berdiskusi dengan negara-negara seperti Indonesia, tentang opsi teknologi penangkapan karbon ini.

Apa itu Carbon Capture Storage (CCS)?

Mengutip laman Kementerian ESDM, CCS merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi karbondioksida (CO2) ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang (capture), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

CO2 yang dihasilkan dari berbagai aktivitas, misalnya pembangkit listrik atau industri, akan ditangkap saat terlepas ke atmosfer, lalu dikompresi dan diinjeksikan ke dalam formasi geologi bawah tanah untuk penyimpanan yang aman dan permanen. Pengerahan secara luas penangkapan dan penyimpanan karbon yang hemat biaya berpotensi menurunkan tingkat gas rumah kaca dunia.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Astra International (ASII) Bagi Dividen Rp17 Triliun, Ini Jadwalnya
Microsoft Umumkan Investasi Rp27 Triliun di Indonesia
Laba PTRO Q1-2024 Amblas 94,4% Jadi US$163 Ribu, Ini Penyebabnya
Waspada IHSG Balik Arah ke Zona Merah Pascalibur
Laba Q1-2024 PTBA Menyusut 31,9 Persen Menjadi Rp790,9 Miliar
Laba Q1-2024 Antam Tergerus 85,66 Persen Menjadi Rp238,37 Miliar