OECD Tetapkan Tarif Pajak Korporasi 15%, Apa Dampaknya Bagi Indonesia

Kesepakatan ini bertujuan mengurangi pesaingan tarif pajak.

OECD Tetapkan Tarif Pajak Korporasi 15%, Apa Dampaknya Bagi Indonesia
Shutterstock/Panchenko Vladimir
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada Jumat (8/10) mengumumkan sebuah kesepakatan bersejarah dalam hal tarif pajak perusahaan global. Lembaga itu sepakat menerapkan tarif pajak korporasi multinasional minimal 15 persen.

OECD menyebut kesepakatan itu disetujui oleh sekitar 136 negara yang mewakili lebih dari 90 persen perekonomian atau produk domestik bruto (PDB) dunia. Dengan kesepakatan pajak ini, akan ada alokasi dana lebih dari US$125 miliar dari keuntungan yang diperoleh dari 100 perusahaan multinasional terbesar dan paling menguntungkan.

“Kesepakatan ini memastikan bahwa perusahaan-perusahaan ini membayar bagian pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi dan menghasilkan keuntungan,” tulis OECD dalam keterangan pers, seperti dikutip Fortune Indonesia.

Menurut OECD, perpanjian pajak global minimum ini juga tidak berusaha untuk menghilangkan persaingan tarif pajak antar negara. Lembaga ini menyebutkan, tarif minimal 15 persen ini merupakan batasan yang harus disepakati secara muiltilateral.

Tujuan pajak korporasi global

Melansir The Financial Times, kesepakatan tarif pajak global minimum ini merupakan perubahan mendasar pertama pada sistem perpajakan perusahaan antar negara. Hal ini demi mengakhiri persaingan tarif pajak ‘yang berbahaya” di mana ada negara yang menerapkan tarif lebih rendah.

Sampai sebelum kesekapatan ini, terdapat negara-negara yang menolak hal tersebut, seperti Irlandia dan Hungaria. Mereka ini merupakan negara-negara suaka pajak atau yang memberikan tarif pajak lebih rendah. Namun, baik Irlandia dan Hungaria sudah sepakat atas peraturan baru tersebut.

Kesepakatan pajak global minimum ini juga mengharuskan perusahaan membayar pajak di tempat mereka beroperasi, bukan hanya di kantor pusat.

Sebelumnya, beberapa negara seperti Prancis, Inggris, dan India telah bergerak untuk memperkenalkan pajak tersebut khususnya yang menyasar kepada perusahaan digital seperti Amazon, Google, dan Facebook. Beberapa perusahaan digital ini disebut membayar pajak lokal terlalu sedikit lantaran mereka tidak memiliki yurisdiksi atau tidak berkantor di negara tersebut.

Sistem Dua Pilar Pajak

Dalam kesepakatan pajak global minimum ini, OECD memperkenalkan sistem dua pilar pajak. Dalam pilar satu, aturan perpajakan akan menyasar pada perusahaan-perusahaan digital yang memiliki kegiatan bisnis serta menghasilkan keuntungan di suatu negara, meskipun secara fisik tidak hadir di negara tersebut.

Sementara pilar kedua memperkenalkan tarif pajak perusahaan minimum global yang ditetapkan sebesar 15 persen. Tarif ini akan berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan di atas 750 juta euro. Pilar kedua ini diperkirakan akan menghasilkan sekitar AS$150 miliar tambahan pendapatan pajak global setiap tahunnya.

OECD menyebutkan, negara-negara yang telah menyekapati ketentuan tarif pajak global itu akan menandatangani konvensi multilateral pada tahun depan. Berikutnya, ditargetkan implementasi efektif itu akan terjadi pada 2023.

Dampak bagi Indonesia

Menurut pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center, Bawono Kristiaji, adanya solusi pilar dua dalam kesepakatan pajak korporasi ini bertujuan untuk mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif pajak penghasilan (Pph) badan minimum secara global. Menurutnya, setiap negara akan terdampak dengan aturan main pilar dua tersebut termasuk Indonesia yang merupakan bagian dari 136 negara anggota.

Bawono menambahkan, kehadiran kesepakatan pajak minimum global bagi Indonesia perlu disambut dengan baik. Hal ini, katanya, khususnya terkait dengan prospek dalam mengurangi tekanan kompetisi pajak serta berkurangnya daya tawar negara-negara yang selama ini dikategorikan sebagai suaka pajak (tax haven).

“Dalam kontekstualitas Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU) HPP tetap dipertahankannya tarif pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 22 persen juga kian relevan karena risiko pengalihan laba ke negara lain jadi berkurang dengan adanya skema tarif pajak minimum,” kata Bawono kepada Fortune Indoensia, Senin (11/10).  

Perihal manfaatnya terhadap penerimaan pajak Indonesia, kata Bawono, tentu perlu dihitung lebih lanjut. “Yang pasti, OECD memperkirakan bahwa pilar dua akan memberikan tambahan penerimaan pajak global sebesar US$150 miliar per tahun,” katanya.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Mengenal Proses Screening Interview dan Tahapannya
Cara Mengaktifkan eSIM di iPhone dan Cara Menggunakannya
Perusahaan AS Akan Bangun PLTN Pertama Indonesia Senilai Rp17 Triliun
SMF Akui Kenaikan BI Rate Belum Berdampak ke Bunga KPR Bersubsidi
Digempur Sentimen Negatif, Laba Barito Pacific Tergerus 61,9 Persen
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan