Agresif! Bank Indonesia Kembali Naikan Bunga Acuan jadi 5,25%

Ini faktor pendorong kenaikan bunga acuan.

Agresif! Bank Indonesia Kembali Naikan Bunga Acuan jadi 5,25%
Ilustrasi Bank Indonesia/ Shutterstock Harismoyo
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) periode November 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen, suku bunga Deposit Facility juga naik sebesar 50 bps menjadi 4,50 persen dan suku bunga Lending Facility naik sebesar 50 bps menjadi 6,00 persen.  Langkah bank sentral terbilang agresif setelah sebelumnya menaikan bunga acuan di periode bulan Agustus, September dan Oktober 2022

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

“Memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0±1 persen lebih awal pada paruh pertama 2023. Serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat kuatnya mata uang dolar AS,” kata Perry melalui konferensi video di Jakarta, Kamis (17/11).

Penyesuaian harga BBM tarif angkutan buat inflasi masih tinggi

ilustrasi mengisi bensin (unsplash.com/Sippakorn yamkasikorn)

Perry menjelaskan, ekspektasi inflasi masih tinggi meskipun inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) lebih rendah dari prakiraan awal. Tercatat, inflasi IHK pada Oktober 2022 sebesar 5,71 persen (yoy), masih di atas sasaran 3,0±1 persen, meskipun lebih rendah dari prakiraan dan inflasi bulan sebelumnya sebesar 5,95 persen (yoy). Sementara itu, inflasi kelompok volatile food turun menjadi 7,19 persen (yoy).

Perry menilai perlu penguatan sinergi dan koordinasi kebijakan yang erat melalui TPIP-TPID dan GNPIP untuk penurunan inflasi lebih lanjut. Sebab, inflasi administered prices tercatat sebesar 13,28 persen (yoy). “Perlu penguatan koordinasi untuk memitigasi dampak lanjutan dari penyesuaian harga BBM dan tarif angkutan agar lebih rendah,” kata Perry.

Sementara itu, inflasi inti tercatat sebesar 3,31 persen (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya sejalan dengan dampak rambatan dari penyesuaian harga BBM dan meningkatnya ekspektasi inflasi. Consensus Forecast bulan November 2022 menunjukkan ekspektasi inflasi pada akhir 2022 masih tinggi yaitu 5,9 persen (yoy) meski demikian, level tersebut sudah lebih rendah dari bulan sebelumnya 6,7 persen (yoy).

Ekonomi global melambat akibat pengetatan moneter

ilustrasi krisis moneter (unsplash.com/Markus Spiske)

Sementara itu, BI memandang pertumbuhan ekonomi global melambat disertai dengan tingginya tekanan inflasi akibat agresifnya kenaikan suku bunga kebijakan moneter. Perry mengatakan, pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diprakirakan akan menurun dari 2022, dengan risiko koreksi yang dapat lebih rendah dan resesi yang tinggi di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

“Perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif,” kata Perry.

Sementara itu, tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi sejalan dengan terus berlanjutnya gangguan rantai pasokan dan keketatan pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa, di tengah pelemahan permintaan global. Merespons tekanan inflasi tinggi tersebut, bank sentral di banyak negara terus memperkuat pengetatan kebijakan moneter yang agresif. Kenaikan Fed Funds Rate yang diprakirakan hingga awal 2023 dengan siklus yang lebih panjang (higher for longer) mendorong tetap kuatnya mata uang dolar AS sehingga memberikan tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara.

“Tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin meningkat sejalan dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Aliran keluar investasi portofolio asing menambah tekanan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia,” tambah Perry.

Kurs Rupiah masih dalam tren terdepresiasi

Ilustrasi Bank Indonesia dalam Uang/Shutterstock E.S Nugraha

Dengan langkah-langkah stabilisasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia, nilai tukar Rupiah sampai dengan 16 November 2022 masih terdepresiasi 8,65 persen (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021. Meski demikian, Perry menilai depresiasi nilai tukar Rupiah tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara lain di kawasan, seperti Korea Selatan 10,30 persen (ytd) dan Filipina 11,10 persen (ytd).

“Sangat kuatnya dolar AS didorong oleh pengetatan kebijakan moneter yang agresif di AS dan penarikan modal dari berbagai negara ke AS, di tengah melemahnya ekonomi dan tingginya inflasi di Eropa,” kata Perry.

Pada saat bersamaan, tingginya ketidakpastian pasar keuangan global berlanjut. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Paylater Layaknya Pedang Bermata Dua, Kenali Risiko dan Manfaatnya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan
Bukan Cuma Untuk Umrah, Arab Saudi Targetkan 2,2 Juta Wisatawan RI
BI Optimistis Rupiah Menguat ke Rp15.800 per US$, Ini Faktor-faktornya
Rambah Bisnis Es Krim, TGUK Gandeng Aice Siapkan Investasi Rp700 M