Ancaman Krisis Ekonomi Global 2023 Masih Ada, Investor Harus Waspada

Pahami 3 profil risiko sebelum berinvestasi.

Ancaman Krisis Ekonomi Global 2023 Masih Ada, Investor Harus Waspada
ilustrasi krisis moneter (unsplash.com/Markus Spiske)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ancaman resesi, tingginya inflasi, hingga pengetatan likuiditas semakin memojokkan ekonomi banyak negara menuju pelemahan bahkan berpotensi menciptakan krisis. 

Bahkan, pada Laporan Prospek Ekonomi Global dari Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan terjun bebas dari 5,7 persen pada 2021 menjadi 2,9 persen pada 2022. 

Oleh karena itu, Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Budi Hikmat mengimbau kepada seluruh pelaku bisnis dan ekonomi mewaspadai kondisi pelemahan tersebut yang berpotensi menjadi krisis di 2023. 

"Kami mengkhawatirkan saat ini sebetulnya, dunia mengarah pada suatu krisis baru. Krisisnya nanti apakah sebaran, kemudian kedalaman atau keparahan, dan durasi, kemungkinan besar ini lebih luas, lebih dalam dan lebih lama," kata Budi melalui webinar Bahana TCW di Jakarta, Rabu (30/11). 

Bahkan, probabilitas terjadinya resesi di AS sudah mendekati 60 persen, demikian juga di Eropa. Pemicu utama dari kondisi ekonomi AS dan Eropa adalah tingginya harga energi dan bahan makanan, serta kebijakan moneter yang diambil akan semakin ketat. 

Pertumbuhan ekonomi global kehilangan momentum

Ilustrasi resesi ekonomi global. (Pixabay/Elchinator)

Menurut Budi, pertumbuhan ekonomi global telah kehilangan momentum akibat pandemi Covid-19, yang kemudian diperparah perang Rusia-Ukraina serta perang dagang AS – China yang meningkatkan risiko utang negara miskin dan potensi krisis pangan di sejumlah kawasan. 

Pengaruh berbagai cost-push factors pasca pandemi yang pelik terutama terkait upah, gangguan rantai pasok, lonjakan biaya energi dan pangan juga mempersulit upaya bank sentral mengendalikan inflasi. Kebijakan pengetatan lanjutan bahkan berisiko memicu stagflasi global. 

"Capital market sudah mengantisipasi ya. Jadi seperti bursa di Amerika itu sempat anjlok 20 persen lebih. Demikian juga di pasar obligasi sudah naik bahkan melewati inflasi, namun imbal hasil jangka panjang tidak sepesat yang jangka pendek," kata dia.  

Namun demikian, Budi optimis perekonomian Indonesia dapat bertahan di tengah terpaan badai resesi global dengan ditunjang fundamental kuat. 

Menurutnya, perekonomian domestik secara umum masih menunjukkan ketahanan dengan ditopang peningkatan permintaan domestik, investasi yang terjaga, dan berlanjutnya kinerja positif ekspor. 

Selain itu, peningkatan penerimaan pajak yang penting untuk meredam dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Di sisi lain, program re-industrialisasi juga lebih menjanjikan dalam penciptaan kesempatan kerja terampil untuk menaikan pendapatan dan kesejateraan. 

Pahami 3 profil risiko sebelum berinvestasi

Ilustrasi Analis, investor, trader menggunakan analitik aplikasi ponsel untuk menganalisis pasar saham. Shutterstock/insta_photos

Sementara itu, Direktur Bahana TCW Danica Adhitama mengatakan, sebelum memutuskan untuk berinvestasi pada masa krisis, pemahaman tiga profil risiko harus diperdalam. 

Profil risiko investasi yaitu konservatif atau risiko rendah, moderat atau sedang, atau agresif atau yang mengambil keputusan dengan risiko tinggi. 

"Banyak investor yg tergiur dengan imbal hasil tinggi, tapi tidak kuat dengan risiko. Kaget dengan fluktuasi pasar. Sebagai investor kita harus kenal profil risiko,” kata Danica. 

Selain itu, menurut Danica, kondisi pasar global juga turut mempengaruhi sikap dan perilaku investor. Hal itu bisa dilihat dari dampaknya dari tren aset industri reksadana. 

"Kita lihat ke depannya itu ada potensi investasi yang cukup besar," kata dia.  

Ini strategi Bahan TCW hadapi krisis 2023

Ilustrasi Bahana TCW/Dok Perusahaan

Untuk menghadapi 2023, strategi Bahana TCW agar produk-produk investasi tetap memberikan imbal hasil yang optimal adalah dengan memperkuat penerapan manajemen risiko.  Bahana TCW juga menggunakan kombinasi analisa top-down dengan bottom-up sehingga memungkinkan untuk mendapatkan imbal hasil yang optimal dengan pengelolaan risiko portfolio yang terukur.  

"Manajemen risiko ini kalau kita ibaratkan seperti kaca spion mobil ya. Jadi kalau manager investasi itu perannya sebagai driver atau supir," kata dia.  

Bahana TCW, lanjut Danica, memiliki line up produk yang dapat menjawab tantangan ketidakpastian ekonomi di 2023. Selain itu, Bahana TCW melihat kelas asset obligasi dapat memberikan imbal hasil yang menarik pada tahun 2023. Sejalan dengan itu, produk existing Bahana TCW yang juga menjadi flagship fund adalah Asian Bond Fund yang merupakan reksadana index yang mengacu pada “IBOXX ABF Indonesia Index” 

Presiden Direktur Bahana TCW Rukmi Proborini mengatakan, Bahana TCW telah meluncurkan 18 produk investasi. Dalam hal distribusi produk, Bahana TCW telah berkolaborasi dengan kurang lebih 15 bank, 16 institusi non-bank dan 20 agen penyalur lainnya. 

Menurut Rukmi, pengembangan produk investasi secara prudent dengan didukung jaringan distribusi yang luas meningkatkan kepercayaan investor untuk menempatkan investasinya pada produk investasi Bahana TCW. Terbukti, hingga Oktober 2022, Bahana TCW membukukan AUM lebih dari Rp48 triliun.

Magazine

SEE MORE>
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024
[Dis] Advantages As First Movers
Edisi Maret 2024
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023

Most Popular

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus tapi Iuran Tetap Beda, Seperti Apa?
TDS 3 in Jakarta: NCT Dream, Sebuah Ikon Pertumbuhan
IBM Indonesia Ungkap Fungsi WatsonX Bagi Digitalisasi Sektor Keuangan
Ulang Tahun ke-22, Starbucks Indonesia Donasi Rp5 Miliar ke Gaza
Perkuat Ekosistem Kuliner Jepang, J Trust Gandeng Kushikatsu Daruma
Saat Bos Starbucks Bicara Persaingan dengan Brand Kopi Lokal