Jakarta, FORTUNE - Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) diprediksi bakal kembali naik hingga 75 basis poin (bps) menjadi 5 persen di akhir tahun 2022. Kondisi tersebut untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global hingga inflasi dalam negeri.
Seperti diketahui, bank sentral telah menaikan bunga acuan sebesar 25 dan 50 basis poin (bps) dalam dua bulan berturut turut hingga menjadi 4,25 persen di September 2022. Langkah tersebut dilakukan BI untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3,0±1 persen pada paruh kedua 2023.
Kenaikan bunga acuan untuk jaga daya beli masyarakat
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro Andry menilai, pemerintah bersama dengan BI tengah berupaya untuk menjaga inflasi pangan berada di level stabil. Tujuannya, agar daya beli masyarakat tetap terjaga hingga akhir tahun. Oleh karena itu, pihaknya memprediksi bunga acuan BI akan bertengger di level 5 persen di akhir 2022.
“Perlu diingat, kebijakan Pemerintah dan BI telah responsif bahkan sebelum kenaikan harga BBM terjadi. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai subsidi dan bantuan untuk menopang pendapatan masyarakat. Di sisi lain, BI merespon kebijakan pre-emptive dengan menaikkan suku bunga acuan,” kata Andry saat media gathering secara virtual, di Jakarta, Selasa sore (4/10).
Melihat respon kebijakan ini, Tim Ekonom Bank Mandiri juga masih optimis ekonomi Indonesia akan relatif stabil sampai akhir tahun. Apalagi, Indonesia masih memiliki potensi pertumbuhan di beberapa sektor seperti telekomunikasi, jasa kesehatan dan sektor terkait program hilirisasi. Dengan demikian, Bank Mandiri masih optimistis pertumbuhan ekonomi di sepanjang tahun ini mampu mencapai 5,17 persen (yoy).
Kenaikan bunga acuan untuk jaga likuiditas
Sejalan dengan pandangan tersebut, DBS Group Research juga memperkirakan kenaikan BI rate sebesar 75 bps hingga akhir 2022 menjadi 5. Kondisi tersebut terjadi bila terjadi peningkatan risiko gejolak ekonomi global di luar ekspektasi.
“Untuk obligasi, bank sentral mengindikasikan bahwa ada kemungkinan melanjutkan operasi twist yaitu strategi kebijakan moneter untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan suku bunga jangka panjang,” tulis laporan DBS Group Research yang dikutip di Jakarta, Rabu (5/10).
Kondisi tersebut dilakukan, untuk mengendalikan suku bunga jangka panjang, seraya memungkinkan suku bunga jangka pendek bisa menyesuaikan diri sebagai upaya menjaga likuiditas pasar.
Selain itu, DBS Group Research juga memandang inflasi domestik bakal meningkat akibat dampak langsung dari kenaikan harga bahan bakar bersubsidi. Tantangan tersebut juga dibarengi oleh tekanan pada mata uang rupiah akibat penguatan dollar AS karena kebijakan Bank Sentral AS (The Fed).
“Terlepas dari neraca perdagangan kuat, ketahanan domestik yang dalam tren pertumbuhan juga mendorong pengetatan kebijakan dan melakukan kebijakan agresif,” tulis DBS.
Seperti diketahui, pada Rabu pagi (5/10) nilai tukar rupiah berada di level Rp15.200/US$. Mata uang Garuda menguat 47 poin atau 0,31 persen dari perdagangan sebelumnya.