Paylater Kian Populer, Masih Perlukah Kartu Kredit di Dompet ?

Dampak pagebluk terhadap lini bisnis sistem pembayaran

Paylater Kian Populer, Masih Perlukah Kartu Kredit di Dompet ?
Ilustrasi Kartu Kredit Vs Paylater/Fortune Indonesia-Achmad Bedoel
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta,FORTUNE- Kartu kredit pernah menikmati masa jayanya sebagai alat pembayaran yang diterbitkan oleh bank. Saat bisnis digital menawarkan kemudahan cicilan, masihkah kita membutuhkan kartu kredit di dompet?

Belanja sekarang, bayar belakangan. Dalam keseharian masyarakat kita, berutang di warung atau toko langganan menjadi hal yang jamak. Saat perdagangan pindah ke jagat maya, sistem pembayaran lewat cicilan itu pun mengikuti. Sejumlah lokapasar bahkan menawarkan promo menggiurkan untuk menggoda pelanggan.

Isna Rifka misalnya, menggunakan fitur kasbon daring untuk berbagai kebutuhan harian. “Biasanya menggunakan pay later buat kebutuhan anak seperti popok atau susu bayi. Sebab sering ada promo di lokapasar,” kata ibu berusia 27 tahun ini.

Wahyu Indriani juga merasa dimanjakan oleh fitur pay later. Selain oleh berbagai program promosi, menurutnya pendaftaran program cicilan ini terbilang mudah. Seluruh prosesnya bisa dilakukan secara online dan tak perlu waktu lama. “Biayanya juga murah. Menurut saya, tak seberapa dibanding berbagai promo yang ditawarkan,” kata pekerja swasta di Jakarta ini.

Salah satu layanan pay later yang cukup dikenal adalah GoPayLater. Hasil kolaborasi GoPay dan Findaya ini merupakan metode pembayaran dalam ekosistem GoTo Financial yang bisa digunakan untuk bertransaksi di Gojek dan Tokopedia.

Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) Alfin Primaldhi mengatakan, ada peluang besar bagi tumbuhnya layanan pay later di Indonesia. "Penetrasi kartu kredit yang masih rendah di Indonesia memberikan peluang yang besar bagi layanan buy now pay later atau beli sekarang bayar nanti," kata Alfin. Pada November 2021, hasil risetnya menyebut bahwa 83% pengguna GoPayLater tak memiliki akses ke kartu kredit.

GoPayLater tidak menarik bunga dari setiap transaksi, namun ada biaya bulanan sebesar Rp25.000 yang harus dibayarkan selama menggunakan layanan. Sementara itu, di Bukalapak, pembeli akan dikenakan biaya pelayanan sebesar 5 persen untuk setiap transaksi dengan metode BayarNanti.

Unicorn lain yang mengembangkan sistem pembayaran dengan cicilan adalah Traveloka. Kini, Traveloka Paylater bahkan diperluas hingga ke luar ekosistemnya. Dengan nomor virtual, pengguna Traveloka Paylater dapat menggunakan fasilitas cicilan hingga 12 bulan di berbagai platform seperti Zalora, Ikea, Ruparupa, Samsung, Sociolla, Uniqlo, Sephora, dan sejumlah gerai ritel lain.

Berbeda dengan ketiganya, Kredivo secara khusus menawarkan layanan pay later untuk transaksi di berbagai gerai, baik online maupun offline. Saat ini, hampir semua toko online di Indonesia menerima pembayaran dengan Kredivo. Selain itu, Kredivo juga bisa digunakan untuk berbelanja di gerai ritel seperti Alfamart, Optik Melawai hingga McDonalds, meski masih terbatas di wilayah Jabodetabek dan sejumlah kota besar lainnya.

Dampak pagebluk terhadap bisnis digital

Shutterstock_Theethawat Bootmata

Telah menjadi rahasia umum bahwa pandemi Covid-19 mendorong pertumbuhan bisnis digital, termasuk layanan pay later. Sebagai gambaran, jumlah pengguna Kredivo pada Januari 2021 lalu sekitar 2 juta akun. Pada Desember 2021, CEO Kredivo Indonesia Umang Rustagi menyebut basis penggunanya hampir setara dengan 30 persen dari 16,54 juta kartu kredit yang beredar di Indonesia.

“Bisa dilihat customer base kami sekarang sudah mendekati 5 juta pengguna,” kata Umang saat wawancara dengan Fortune Indonesia di Jakarta (15/12).

Dalam survei yang digelar oleh Kredivo dan Katadata Indonesia, jumlah pengguna layanan pay later di lokapasar jauh melebihi kartu kredit. “Pada faktanya, 27 persen responden yang disurvei telah menggunakan pay later. Paling tidak, konsumen menggunakannya dua kali setahun di e-commerce,” ujarnya. Dalam survei yang melibatkan 10.000 responden di enam lokapasar itu, hanya 6 persen konsumen yang menggunakan kartu kredit.

Sebaliknya, pagebluk menggebuk bisnis kartu kredit. Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengakui bahwa bisnisnya merosot hingga 50 persen pada Maret hingga Mei 2020. Bagaimana tidak, pada masa awal Covid-19 masuk Indonesia, pemerintah memberlakukan pembatasan ketat sehingga mobilitas masyarakat pun berkurang.

Setelah masa kelam itu, perlahan bisnis kartu kredit kembali pulih. Berdasarkan data AKKI sejak awal Januari hingga 7 Desember 2021, nilai transaksi kartu kredit telah mencapai Rp 189,5 triliun. Nilai tersebut masih di bawah capaian dari keseluruhan tahun 2020 yang mencapai Rp 231,5 triliun. “Kinerja produk kartu kredit ini belum sepenuhnya kembali. Angkanya masih di kisaran 85 persen dibandingkan dengan masa sebelum pandemi,” kata Steve.

Menurutnya, transaksi dengan kartu kredit akan kembali normal jika pandemi berakhir. Sebab, salah satu keunggulan kartu kredit adalah karena sistem pembayaran ini diterima secara internasional.

Sementara itu, Statistik Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) menunjukkan, nilai transaksi kategori belanja untuk kartu kredit di Indonesia telah mencapai Rp20,82 triliun untuk bulan Oktober 2021. Nilai tersebut masih mampu tumbuh 24,30 persen (YoY) bila dibandingkan dengan periode yang sama 2020, yang hanya mencapai Rp16,75 triliun.

Dibayangi risiko kredit macet

Ilustrasi Debt Collector/ Shutterstock Andrey Povpov

Bisnis pembiayaan, baik kartu kredit maupun pay later tentu tak lepas dari risiko kredit macet. Dalam hal ini, perbankan punya bekal pengalaman lebih dari tiga dasawarsa dalam mengelola kartu kredit, termasuk menakar risikonya.

Terbukti, pada layanan pay later, tingkat wanprestasi pinjaman (TWP) atau kredit macet yang diukur pada durasi 90 hari sejak jatuh tempo sempat menyentuh level 7,9 persen pada awal pandemi, tahun lalu. Pada saat yang sama, rasio kredit macet dari perbankan masih terjaga di kisaran 3 persen. (grafik 3)

Bagaimanapun, berdasarkan data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Oktober 2021, tingkat keberhasilan pinjaman online sudah mencapai 97,87 persen. “Ini menunjukkan keterlambatan di atas 90 hari itu hampir kurang lebih 2,2 persen. Jadi secara inti masih tergolong sehat,” kata Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi (15/12).

Adrian menyatakan, total penyaluran kredit oleh 104 anggota AFPI telah mencapai Rp136 triliun hingga Oktober 2021, tumbuh 30 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Dari jumlah itu, porsi untuk penyaluran pay later mencapai 30 persen dari total disbursement.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit perbankan hingga Oktober 2021 mencapai Rp5.652 triliun, tumbuh 3 persen dari tahun lalu. Adrian menyatakan, tingginya pertumbuhan pinjaman online menandakan bahwa fintech mampu masuk pada segmen yang belum tersentuh oleh layanan pembiayaan bank.

Lantas seperti apa tantangan dan kelanjutan bisnis kartu kredit dan paylater pada 2022? Topik tersebut bisa Anda baca selengkapnya di majalah Fortune Indonesia edisi Januari 2022 dengan tajuk utama "Investor’s Guide 2022".

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Paylater Layaknya Pedang Bermata Dua, Kenali Risiko dan Manfaatnya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan
BI Optimistis Rupiah Menguat ke Rp15.800 per US$, Ini Faktor-faktornya
Saham Anjlok, Problem Starbucks Tak Hanya Aksi Boikot
Rambah Bisnis Es Krim, TGUK Gandeng Aice Siapkan Investasi Rp700 M