Jakarta, FORTUNE – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melebar capai Rp560,3 triliun hingga November 2025. Defisit ini membengkak bila dibandingkan posisi Oktober 2025 yang mencapai Rp479,7 triliun bahkan tidak lebih baik bila dibandingkan dengan defisit periode November 2024 yang hanya Rp402 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom & Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai terdapat masalah pada pengelolaan APBN yakni kakunya pola belanja yang membuat defisit berpotensi membesar saat penerimaan tidak tumbuh sesuai harapan. Risiko ini juga dikhawatirkan akan berdampak terhadap pengelolaan APBN 2026.
“Ketahanan APBN bukan hanya soal ada tidaknya defisit, tetapi soal kemampuan memperbesar pipa penerimaan dan keberanian menata keran belanja, terutama belanja yang hasilnya tidak sepadan dengan biayanya,” kata Achmad melalui keterangan tertulis kepada Fortune Indonesia di Jakarta, (29/12).
Ia menjabarkan, penerimaan negara ditopang pajak, bea cukai, dan PNBP. Tetapi konteks global dan siklus komoditas membuat penerimaan mudah berfluktuasi. Ketika harga komoditas melemah atau normalisasi terjadi, penerimaan ikut tertahan. Pada awal 2025 misalnya, sempat muncul sorotan atas pelemahan penerimaan pajak, dan pemerintah tetap mempertahankan target defisit dalam kerangka yang dianggap aman.
“Yang perlu kita garis bawahi adalah konsekuensi ke 2026, jika kita proyeksikan secara sederhana dari outlook 2025, rasio penerimaan negara terhadap PDB atau tax ratio berada di kisaran sekitar 12 persen Ini bukan angka yang memalukan, tetapi juga bukan angka yang memberi ruang fiskal sangat lapang. Artinya, 2026 akan menuntut kerja ganda: memperkuat penerimaan sambil menahan eskalasi belanja yang tidak produktif,” jelas Achmad.
Seperti diketahui, Kemenkeu mematok anggaran belanja negara sebesar Rp 3.842,7 triliun dalam APBN 2026. Anggaran belanja tersebut meningkat dari outlook tahun 2025 yang sebesar Rp 2.865,5 triliun.
