Jakarta,FORTUNE – Pemerintah tengah menyiapkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 perubahan kedua tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Sumber Daya Alam (SDA). Aturan ini tengah disosialisasikan kepada para pelaku industri perbankan dan mulai berlaku pada 1 Januari 2026.
Salah satu aturan yang menjadi sorotan adalah mewajibkan penempatan DHE Valas para eksportir khusus hanya ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Padahal, dalam aturan sebelumnya mengenai DHE SDA, sejumlah bank swasta dan bank multinasional juga turut berpartisipasi memboyong devisa eksportir dari luar ke dalam negeri.
Menanggapi hal tersebut, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede menilai aturan baru ini akan mengganggu distribusi likuiditas valuta asing (valas) di perbankan nasional. Tak hanya itu, situasi ini juga berpotensi mendorong kenaikan biaya dana valas dan memperlebar selisih persaingan bunga simpanan maupun kredit valas di bank non-Himbara.
“Bank non-Himbara seperti swasta dan multinasional yang selama ini menjadi tujuan penempatan DHE akan kehilangan salah satu sumber dana valas yang murah dan relatif stabil. Konsekuensinya, rasio pendanaan valas mereka bisa menyempit dan ketergantungan pada pasar antar bank, transaksi swap dengan Himbara, ataupun pinjaman luar negeri meningkat,” kata Josua saat dihubungi Fortune Indonesia di Jakarta, Selasa (9/12).
Aturan lainnya yang juga menjadi sorotan ialah batas konversi DHE valas ke rupiah menjadi 50 persen dari sebelumnya boleh 100 persen. Kebijakan ini juga dibarengi dengan aturan perluasan penggunaan valas untuk kebutuhan pengadaan barang dan jasa tidak terbatas hanya pada barang yang tidak bisa diproduksi domestik, dan kebutuhan modal kerja.
Data data yang dimiliki Permata Institute for Economic Research (PIER), menunjukkan bahwa rata-rata DHE non-migas yang masuk ke rekening khusus sekitar US$9,5 miliar hingga US$10,6 miliar per bulan untuk periode Maret–September 2025. Namun demikian, lebih dari 70 persen segera dikonversi ke rupiah, sementara porsi valas hanya sekitar 10 hingga 20 persen.
“Dengan revisi PP dan penyesuaian aturan BI yang membatasi konversi ke rupiah maksimal 50 persen dan mempertahankan retensi DHE nonmigas 100 persen selama 12 bulan, stok valas yang tertahan di dalam negeri justru berpotensi meningkat tapi yang terutama di Himbara,” jelas Josua.
Meski demikian, dari sisi kecukupan likuiditas valas perbankan dalam negeri secara agregat masih sangat memadai. Josua menilai pengalihan DHE SDA ini pada dasarnya lebih merupakan redistribusi basis dana valas antar kelompok bank, bukan pengurangan likuiditas valas dalam negeri.
