Jakarta, FORTUNE – Skema berbagi beban atau burden sharing kembali dilakukan Bank Indonesia (BI) bersama Kementerian Keuangan guna mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Skema ini diwujudkan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh bank sentral, yang mana dana tersebut diarahkan untuk membiayai program-program APBN seperti Koperasi Merah Putih, hingga perumahan rakyat.
Kebijakan ini sejatinya bukan hal baru. Skema ini pernah dilaksanakan BI ketika ekonomi morat marit karena dihantam pandemi Covid-19. Namun, penerapan kembali skema ini dirasa keliru saat ekonomi masih stabil dan hanya untuk melancarkan program pemerintah. Bahkan, independensi bank sentral kembali diragukan.
Padahal, dalam pasal 36A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), menyebutkan bahwa Bank Indonesia baru dapat membeli SBN jangka panjang di pasar perdana jika Presiden menetapkan status krisis atas rekomendasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Dasarnya apa melakukan burden sharing? Sekarang ekonomi diklaim pertumbuhannya di atas 5 persen dan bukan dalam kondisi krisis seperti pandemi Covid-19. Jadi ini ada alasan yang dipaksakan, yang tadinya burden sharing untuk emergency, sekarang hanya untuk membantu fiskal,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira saat dihubungi Fortune Indonesia di Jakarta, Kamis (4/9).