Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Skema Burden Sharing BI Kembali, Ekonom Peringatkan Ancaman Dominasi Fiskal dan Inflasi

Ilustrasi Bank Indonesia (id.pinterest.com/DuniaUangId).
Ilustrasi Bank Indonesia (id.pinterest.com/DuniaUangId).
Intinya sih...
  • Penerapan kembali skema burden sharing berpotensi mengemukakan persepsi independensi bank sentral.
  • Praktik ini berisiko menurunkan kredibilitas moneter dan menyulitkan strategi keluar BI ke depan.
  • Burden sharing harus memiliki batas waktu (sunset clause) dan volume yang transparan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia (BI) telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp200 triliun di pasar sekunder sejak awal 2025. Langkah yang menghidupkan kembali skema burden sharing atau berbagi beban ini bertujuan mendukung pembiayaan program ekonomi kerakyatan pemerintah, tapi sontak memicu kekhawatiran serius terkait potensi dominasi fiskal dan independensi bank sentral.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengungkapkan realisasi tersebut dalam rapat kerja bersama Komite IV DPD RI, Selasa (2/9). Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya untuk menjaga stabilitas pasar dan likuiditas, tetapi juga diarahkan untuk agenda prioritas Asta Cita.

“Per kemarin, BI telah menyerap SBN senilai Rp200 triliun, termasuk untuk kebutuhan debt switching. Sebagian dari dana itu dialokasikan bagi program pembangunan tiga juta unit rumah rakyat, penguatan Koperasi Desa Merah Putih, serta program prioritas lain,” ujar Perry.

Namun, langkah ini dinilai dapat mengaburkan batas antara kebijakan fiskal dan moneter. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, menilai penerapan kembali skema ini berpotensi menimbulkan persoalan baru, terutama terkait persepsi independensi bank sentral.

Rizal menjelaskan, meski teknisnya berbeda dari era pandemi—kali ini pembelian SBN dilakukan di pasar sekunder—secara substansi, praktik yang berulang ini tetap berisiko.

“Dalam jangka pendek, BI bisa berargumen langkah ini untuk menjaga likuiditas dan stabilitas pasar. Tetapi jika terus berulang, publik akan menilai kebijakan moneter mulai tunduk pada kepentingan fiskal atau dikenal sebagai fiscal dominance,” kata Rizal kepada Fortune Indonesia, Rabu (3/9).

Menurut Rizal, praktik burden sharing berisiko menurunkan kredibilitas moneter dan menyulitkan strategi keluar (exit strategy) BI ke depan. Ia mengingatkan pelepasan kembali SBN yang telah dibeli BI berpotensi memicu lonjakan imbal hasil (yield) secara signifikan.

Selain itu, risiko lonjakan inflasi juga menjadi perhatian. Rizal menyebut efektivitas BI dalam mensterilisasi tambahan likuiditas dari pembelian SBN akan menjadi kunci.

“Jika dibiarkan beredar penuh di tengah permintaan domestik yang meningkat, tekanan inflasi akan menguat. Sebaliknya, sterilisasi bisa menekan risiko, tapi biayanya mahal dan tidak selalu sempurna,” ujarnya.

Dari sisi fiskal, Rizal menyoroti potensi munculnya kredit bermasalah (NPL) jika program yang dibiayai, seperti koperasi desa atau perumahan, tidak berjalan mulus. Pada akhirnya, beban tersebut dapat kembali membebani APBN.

“Beban fiskal jangka menengah bisa melebar, bahkan subsidi yang awalnya sementara bisa berubah menjadi biaya permanen negara,” kata Rizal.

Pemerintah, menurut Rizal, tampak memilih jalur burden sharing karena terbatasnya ruang fiskal. Ini bukan berarti APBN tidak cukup, melainkan sebuah upaya mencari pembiayaan yang lebih murah dan politis lebih mudah ketimbang menaikkan pajak atau merealokasi belanja.

“Kebijakan ini menjadi sinyal tekanan pada kemampuan fiskal konvensional, namun juga menunjukkan tekad pemerintah mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto, seperti Koperasi Desa Merah Putih dan penyediaan perumahan, agar tetap bisa dibiayai dengan bunga rendah,” ujarnya.

Dalam skema ini, BI dan Kementerian Keuangan berbagi beban bunga secara seimbang. Untuk pembiayaan perumahan rakyat, misalnya, porsi bunga masing-masing pihak adalah 2,9 persen, sementara untuk Koperasi Desa Merah Putih sebesar 2,15 persen.

Demi memitigasi risiko, Rizal menekankan pentingnya guardrails atau pagar pengaman yang jelas. Pertama, skema burden sharing harus memiliki batas waktu (sunset clause) dan volume yang transparan.

Kedua, BI perlu menjelaskan strategi sterilisasi dan normalisasi kebijakan agar target inflasi tetap kredibel. Ketiga, pemerintah harus mengelola pembiayaan berbasis kinerja dengan skema penjaminan parsial dan menyiapkan stress test fiskal.

“Dengan demikian, manfaat jangka pendek berupa biaya pembiayaan rendah tidak berubah menjadi beban jangka panjang yang justru menggerus kredibilitas fiskal maupun moneter Indonesia,” kata Rizal.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us