Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Ilustrasi Kantor Pusat BPR Hasamitra.jpg
Ilustrasi Kantor Pusat BPR Hasamitra/Dok BPR Hasamitra

Intinya sih...

  • Yonggris Lao mendirikan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Hasamitra di Makassar setelah krisis ekonomi 1997-1998.

  • Ia merakit mimpi besar BPR dengan bantuan I Nyoman Supartha dan memulai bisnis dengan menjaga kredibilitas dan kepercayaan.

  • BPR Hasamitra berkembang pesat, memiliki aset Rp2,82 triliun pada akhir 2023, serta bertransformasi secara digital untuk bertahan di tengah persaingan bisnis.

Jakarta, FORTUNE - Siapa sangka, krisis ekonomi 1997-1998 justru memunculkan inisiatif bagi Yonggris Lao untuk mendirikan bank. Bermodal dana hasil usaha tekstil milik keluarganya, kini Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Hasamitra menjadi salah satu bank terpandang di Sulawesi Selatan. 

Yonggris masih ingat betul kekacauan di Makassar saat krisis ekonomi, 27 tahun lampau. Kala itu, masyarakat berbondong-bondong menarik dananya di bank. Dipercaya mengurus aset keluarga, ia khawatir betul tabungan mereka akan menguap lantaran banyak bank dilikuidasi. Sebelum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) didirikan, dana masyarakat memang berpotensi raib bila banknya bangkrut, sementara tabungan belum sempat dicairkan. 

Untuk menyelamatkan dana hasil usaha tekstil milik keluarga yang mengendap di sejumlah bank, ia harus keluar masuk kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dan, sembari mondar-mandir mengurus pencairan dana tersebut, Yonggris mendapat banyak kenalan baru serta bertukar pikiran mengenai tata kelola bank. Ia sempat miris mengetahui banyak bank yang tidak dikelola dengan baik sehingga menjadi mudah tumbang. Apalagi, kondisi itu tak hanya merugikan pemilik, melainkan juga nasabah yang mempercayakan dananya.

Sebagai pihak yang turut dirugikan, tentu sulit baginya untuk kembali menaruh kepercayaan ke bank untuk menyimpan dana miliknya. Dari kondisi itulah terbesit di pikirannya untuk mengelola dana tabungan usaha keluarganya sendiri dengan mendirikan bank kecil. 

Ia memilih format Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang kala itu untuk mendirikannya cukup bermodalkan Rp1 miliar. “Awalnya hanya berpikir bagaimana caranya bisa mengelola uang sendiri. Bisa saja investasikan di perbankan. Namun, melihat berbagai kelemahan-kelemahan perbankan, saya berpikir ini saatnya kita harus membuat dan melakukan sendiri,” cerita Yonggris kepada Fortune Indonesia (20/4). Ia meyakini kalau bank dikelola dengan baik, pasti akan bagus juga hasilnya.

Asa tak seketika berwujud nyata. Ia bahkan sempat ditentang oleh keluarganya sendiri. Apalagi, pada saat itu stigma mengenai BPR masih sangat buruk. Wajar saja, pada zaman itu, BPR banyak buka di ruko-ruko kecil di pasar yang jauh dari prinsip pengelolaan prudent. 

Kala itu, image BPR bahkan disebutnya jauh lebih buruk pengelolaannya dibandingkan dengan koperasi. “Apa kamu tidak gila bikin bank? Bank lain banyak tutup. Kamu malah buka bank. Apalagi BPR lagi. Coba lihat BPR di Makassar, tidak ada yang bagus,” ungkap Yonggris menirukan luapan amarah sang ayah.


Merakit mimpi besar BPR

Ilustrasi Kantor Pusat BPR Hasamitra/Dok BPR Hasamitra

Sempat meragu, namun ia dipertemukan dengan I Nyoman Supartha yang kala itu masih bekerja di BPPN. Nyoman memberikan semangat dan pandangan luas mengenai pengelolaan bank kepadanya. Apalagi, pria yang akrab dipanggil dengan singkatan namanya—Mansu—ini merupakan bankir jebolan Bank Aken. Mansu lah yang kemudian memberikan banyak insight kepada Yonggris yang notabene lulusan teknik sipil dan buta terhadap pengelolaan bank.

Pada tahun 2000, keduanya bertekad memulai proses pendirian bank. Dari mulai merekrut konsultan hingga mempersiapkan perizinan. Yonggris bahkan sempat melakukan feasibility study guna mengetahui potensi bisnis BPR ke daerah lain. 

Melalui program studi banding dari Bank Indonesia (BI), Yonggris terbang ke Lampung untuk mempelajari kisah sukses BPR Eka yang memiliki aset sebesar Rp800 miliar dan jangkauan pembiayaannya mencapai masyarakat di pelosok-pelosok. Dari situlah dirinya terpacu untuk bisa mendirikan bank yang kuat dan mampu bersaing di tingkat lokal. Apalagi, potensi ekonomi di wilayah Makassar masih cukup tinggi; dari industri, hasil laut, pariwisata hingga sumber daya lainnya.

Setelah semakin yakin untuk memulai bisnis bank, dia kembali ke Makassar pada 2004 dan mempercayakan kendali nakhoda BPR miliknya ke Mansu. “Saya sampaikan ke Pak Mansu. Ini jangan main-main, BPR ini bisa besar. Dari ide yang kecil hingga akhirnya punya pikiran dan impian yang besar. Saya lihat beliau lah yang membawa spirit besar untuk mengembangkan Hasamitra,” kata Yonggris.

Dalam memulai bisnis, ia sangat menjaga kredibilitas dan kepercayaan para calon mitranya. Upaya itu diwujudkan saat mencari dan ingin membeli gedung kantor pertama untuk BPR Hasamitra. 

Secara tidak sengaja, gedung bekas kantor Bank Aspak dibeli Yonggris gara-gara saudara iparnya membatalkan transaksi karena tanah itu bekas kuburan Cina, kurang baik menurut fengshui.  Padahal, proses jual-beli gedung seharga Rp2,8 miliar itu telah disepakati oleh sang ipar dengan pemiliknya. Melihat kondisi itu, Yonggris menggantikan posisi sang ipar demi nama baik keluarga. Padahal, ia sebenarnya telah membeli sebuah ruko untuk kantornya.

Mengabaikan fengshui demi kredibilitas dan nama baik, gedung itu pun bertahan sebagai kantor pusat hingga saat ini. “Bayangkan Rp2,8 miliar hanya untuk beli gedungnya. Lebih besar dana beli gedungnya daripada modal BPR-nya,” kelakar Yonggris.

Pria yang juga menduduki posisi Ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) ini juga sangat memperhatikan pemilihan nama dan makna filosofis dalam logo BPR Hasamitra. Baginya, nama adalah sebuah doa. Ia ingin bank yang dibangunnya itu kelak berumur panjang.

Nama dari Hasamitra, ia menjelaskan, berasal dari bahasa sansekerta. Hasa yang berarti harapan bahagia, dan Mitra ialah rekan atau sahabat. Dengan logo koin dan huruf H di tengah dengan simbol sama dengan, ia berharap BPR ini bisa menjadi mitra bagi masyarakat dalam pengelolaan simpanan dan berkomitmen untuk menjaga kinerja yang baik.

“Ada huruf H dan garis sama dengan. Itu artinya kita harus seimbang. Dan dalam keseimbangan itulah kita bisa menjadi kuat dan bisa berjalan. Hasamitra itu bisa kuat karena selalu ada keseimbangan antara pengeluaran, pemasukan, antara funding dengan lending,” ujarnya.

Jatuh bangun tak pernah lelah

Yonggris Lao, Pemilik dan Pendiri BPR Hasamitra/Dok Pribadi

Beroperasi pertama kali pada 2005, tentu bukan perkara mudah bagi BPR Hasamitra dalam menghimpun dana nasabah. Dengan memanfaatkan relasi dan kolega, Yonggris dan Mansu mulai memasarkan sejumlah produk tabungan. Sementara upaya penyaluran kredit BPR Hasamitra mulai berbuah hasil dengan adanya kerja sama pembiayaan bagi pegawai negeri sipil di lingkungan dinas pariwisata setempat.

Meski saat itu penyaluran gaji masih dilakukan secara tunai melalui bendahara pegawai, BPR Hasamitra punya strategi agar pembayaran cicilan bisa tetap lancar layaknya auto-debet. “Kami bekerja sama dengan bendaharanya untuk memungut tagihan. Jadi, NPL-nya bisa 0 persen karena gaji mereka langsung dipotong oleh bendahara untuk pembayaran cicilan,” kata Yonggris.

Tak berhenti disitu, BPR Hasamitra juga sempat viral lantaran menawarkan suku bunga kredit lebih rendah dibandingkan angka pasaran di wilayah Makassar. Pada awal 2000-an, suku bunga kredit perbankan memang begitu tinggi mencapai level 20-30 persen. Namun BPR Hasamitra berani mendobrak pasar dengan menghadirkan bunga kredit 15 persen.

Kepada timnya, Yonggris menyampaikan, “Kita bikin promo besar-besaran di awal mumpung dananya masih bersumber dari modal disetor, jadi tidak ada biaya lainnya. Tidak usah kita pikir untung dulu. Dan waktu itu semua heboh.”

Bermula dari langkah strategisnya itu, bisnis BPR Hasamitra semakin berkembang dan dikenal masyarakat Sulawesi Selatan secara luas. Hingga akhir 2023 saja, BPR Hasamitra memiliki nasabah lebih dari 67.000 dan memiliki 11 kantor yang terdiri dari 10 kantor cabang dan 1 kantor kas yang tersebar di 9 kabupaten kota. Tak hanya itu, kini BPR Hasamitra bahkan telah memiliki lini usaha di luar provinsi Sulawesi Selatan yakni BPR Hasamitra Depok, Jawa Barat. Dengan total aset mencapai Rp2,82 triliun pada akhir 2023, BPR Hasamitra masuk dalam kelompok “Top 5” BPR dengan aset terbesar di Indonesia.

Semakin tinggi pohon, semakin kencang juga tiupan anginnya. Dengan jumlah nasabah yang banyak, ada tanggung jawab yang besar dan perlu dipikul. Badai besar pandemi Covid-19 sempat memporak-porandakan sebagian lini bisnis BPR Hasamitra pada periode 2020-2021 silam. Kala itu, jangankan BPR, sejumlah bank besar pun turut terkikis bisnisnya karena roda ekonomi yang terhenti. Pengurus BPR Hasamitra ikut ‘panas dingin’ mengkhawatirkan likuiditas yang semakin menipis lantaran banyak nasabah yang menarik dana.

Saat itu juga, Yonggris dan seluruh jajaran pengurus mengadakan rapat dan menentukan arah dan sejumlah strategi untuk mempertahankan bank agar tidak kolaps. Sebagai pemilik, ia bahkan menyiapkan likuiditas dan modal tambahan dari kantong pribadi untuk disuntikkan ke bank, jika dibutuhkan. 

“Karena tingkat kepercayaan masyarakat pada saat itu mulai turun, orang-orang menarik dana. Jujur saja, saya bilang waktu itu likuiditas kami sudah sangat tipis. Jadi, yang pertama kita lakukan stop kredit, meski bentuknya kredit konsumtif. Pokoknya duit (likuiditas) masuk dulu,” kata Yonggris.

Strategi kedua yang dilakukan ialah memantau arus kas yang masuk dan keluar setiap harinya untuk memastikan kondisi permodalan. Jurus strategi ketiga ialah melakukan komunikasi secara intens kepada nasabah. “Jadi kuncinya itu sebenarnya komunikasi. Nasabah terkadang tidak tahu mengenai kondisi keuangan perbankan kami karena mereka tidak membaca neraca, jadi kami jelaskan,” katanya.

Begitu pandemi terlewati, jajaran direksi masih harus kembali memulihkan bisnis dengan menggenjot kinerja kredit yang sempat terpaksa berhenti. Kondisi itu bahkan sempat membuat sejumlah nasabah yang membutuhkan kredit berpaling ke bank lain. Meski begitu, BPR Hasamitra tak gentar menghadapi persaingan bisnis.

Kini, BPR Hasamitra tengah berupaya untuk bertransformasi secara digital, mulai dari menyediakan layanan ATM, mobile banking, hingga pembukaan rekening secara digital. Bank rural ini pun telah memiliki roadmap pengembangan digital termasuk fitur pembayaran QRIS dan kartu digital. “Saya lihat bahwa teknologi itu sudah bukan pilihan. Itu sudah keharusan. Bank ke depan harus melayani transaksi, bukan hanya mengandalkan investasi,” kata Yonggris.

Di usia 18 tahun, kini BPR Hasamitra kokoh berdiri di tengah banyaknya BPR yang tumbang. Sebagai seorang perintis, Yonggris menilai tutupnya sejumlah BPR sebagian besar diakibatkan oleh tata kelola yang buruk, fraud, atau gagalnya risk management. Untuk itu, ia selalu menanamkan empat value utama bisnis yakni kepercayaan, integritas, prudensi, dan profesionalitas. 

Sebagai pemilik, Yonggris pun sudah mengantisipasi dan menangkal terjadinya fraud dengan memilih susunan pengurus serta jajaran direksi dari kalangan profesional. Tak jarang, sejumlah pemimpin divisi terpilih merupakan jebolan bankir ternama. 

Sebagai pemilik dan pendiri BPR Hasamitra, selama 18 tahun, Yonggris mengaku tidak pernah mengambil dividen miliknya dan memupuknya untuk disetorkan kembali sebagai modal. Bahkan, ia selalu menyisihkan keuntungan usaha tekstil miliknya untuk disetor sebagai modal bank. Baginya, BPR Hasamitra harus bisa semakin besar dan berkembang sehingga menjangkau masyarakat lebih luas. 

Editorial Team