Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Bank Indonesia
Bank Indonesia

Intinya sih...

  • BI menyatakan kebijakan moneter tetap ekspansif.

  • SRBI merupakan instrumen operasi moneter yang fleksibel, bisa kontraktif maupun ekspansif bergantung pada kondisi pasar.

  • Bauran kebijakan makroprudensial diperluas dengan memangkas Giro Wajib Minimum (GWM) efektif perbankan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia (BI) menegaskan langkah kebijakan moneter yang diambil saat ini tetap berada pada jalur ekspansi. Agaknya ini merupakan reaksi atas sentilan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, terkait derasnya aliran dana ke Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Menurut Purbaya, SRBI menyerap likuiditas di tengah upaya pemerintah mengguyurkan dana besar ke sistem perbankan. Ia mengingatkan bahwa pada September 2025, pemerintah telah memindahkan kas negara senilai Rp200 triliun dari BI ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Langkah tersebut diyakini sempat mendongkrak pertumbuhan uang beredar atau base money (M0) hingga 13 persen.

Namun, pada Oktober 2025, pertumbuhan tersebut justru melambat menjadi sekitar 7 persen. Kondisi tersebut mendorong pemerintah kembali menyuntikkan dana Rp76 triliun ke Bank Mandiri, BRI, BNI, dan Bank Jakarta guna memperkuat likuiditas perbankan.

“Saya lihat di perbankan kok agak ketat lagi sedikit. Yield obligasi pemerintah juga naik dari 5,9 persen ke 6,3 persen,” kata Purbaya, yang meyakini bahwa melambatnya pertumbuhan uang beredar berkaitan dengan penyerapan dana ke SRBI.

Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, mengatakan dalam acara Financial Forum di Jakarta, Rabu (3/12), bahwa SRBI merupakan instrumen operasi moneter yang sifatnya fleksibel, yang dapat bersifat kontraktif maupun ekspansif tergantung kondisi pasar.

Saat likuiditas berlebih, wajar bila sebagian dana kembali terserap ke BI. Namun, pada saat yang sama, bank sentral tetap menjalankan berbagai langkah ekspansi, “seperti membeli SBN, melakukan swap, hingga repo,” kata Destry.

Posisi outstanding SRBI justru lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang sempat mencapai sekitar Rp900 triliun. Saat ini, nilainya sekitar Rp700 triliun. Menimbang kondisi tersebut, Destry menganggap opini bahwa BI terlalu agresif menyerap likuiditas tidak sepenuhnya tepat.

Sepanjang 2025, BI telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp290 triliun sebagai bagian dari injeksi likuiditas ke pasar. Selain itu, total transaksi efek swap yang dilakukannya telah melampaui Rp1.000 triliun. Akan hal fasilitas repo untuk perbankan, nilai yang telah dimanfaatkan lebih dari Rp1.000 triliun.

“Semua instrumen moneter kami optimalkan. Sikap BI jelas, kami tetap ekspansif dan terus mengalirkan likuiditas ke pasar melalui SBN, swap, repo, time deposit rupiah, hingga instrumen lainnya,” kata Destry.

Di sisi lain, BI juga melakukan penyesuaian atau normalisasi tingkat imbal hasil SRBI setelah sebelumnya sempat turun terlalu dalam, yakni lebih dari 200 basis poin. Langkah ini dinilai perlu demi menjaga keseimbangan aliran dana antara SRBI dan SBN, sekaligus memperkuat daya saing aset rupiah.

“Ini bagian dari upaya menjaga stabilitas sekaligus memastikan aset rupiah tetap menarik,” ujarnya.

Selain kebijakan moneter, BI juga memperkuat bauran kebijakan makroprudensial yang bersifat mendorong pertumbuhan. Melalui insentif likuiditas makroprudensial, BI memangkas Giro Wajib Minimum (GWM) efektif perbankan dari 9 persen menjadi sekitar 3,5 persen.

Insentif tersebut diberikan kepada bank yang aktif menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas seperti UMKM, pertanian, hilirisasi, perumahan, hingga masyarakat berpendapatan rendah. Hingga November 2025, kebijakan ini telah menambah likuiditas sekitar Rp404 triliun ke dalam sistem keuangan.

Demi mempercepat penurunan suku bunga perbankan, BI juga memberikan tambahan insentif sebesar 50 basis poin bagi bank yang mampu menurunkan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) serta kredit lebih cepat.

Terkait peluang penurunan suku bunga acuan, Destry menegaskan ruang itu masih terbuka. Namun, keputusan akan tetap bergantung pada data inflasi dan dinamika ekonomi global.

 

Editorial Team