Jakarta, FORTUNE - Setelah sukses besar dengan film animasi Jumbo, Visinema Pictures kembali mengumumkan proyek terbarunya yang disebut sebagai produksi paling ambisius sepanjang sejarah studio tersebut. Bertajuk Perang Jawa, film ini akan mengangkat kisah perjuangan Pangeran Diponegoro melawan kolonialisme, yang dikenal sebagai salah satu bab penting dalam sejarah Asia Tenggara.
Film bergenre perang ini akan disutradarai langsung oleh CEO dan Founder Visinema, Angga Dwimas Sasongko, dengan Gita Wirjawan sebagai produser eksekutif. Menurut rencana, proses produksi akan dimulai pada 2027.
“Lewat Perang Jawa, kami sedang mengambil tantangan baru, sebuah epik perang yang berakar di tanah Jawa, dengan skala dan intensitas sinematik setara film-film epik global,” ujar Angga, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (21/7).
“Kami ingin menciptakan dunia, bercerita lewat visual, dan membangun pengalaman yang menggugah sehingga penonton bisa merasakan intensitas perang ini melalui perspektif khas Indonesia. Hal ini sejalan dengan visi kami menjadi game-changer bagi perfilman Indonesia," ujarnya, menambahkan.
Ide untuk mengangkat kisah Diponegoro ini berasal dari Gita Wirjawan, yang juga dikenal sebagai host dan produser eksekutif Endgame. Ia menyampaikan bahwa cerita Diponegoro adalah narasi yang kuat dan relevan untuk dunia modern.
“Diponegoro tidak berjuang untuk takhta namun untuk harga diri, keyakinan, warisan budaya dan kedaulatan. Bagi saya, ini adalah kisah yang sangat manusiawi sekaligus monumental. Melalui Perang Jawa, kami ingin mengangkat kembali nilai-nilai yang terkandung dalam kisah Diponegoro dalam medium sinema. Harapannya, dengan kemasan yang seru dan epik, cerita ini bisa disampaikan bukan hanya ke Indonesia, tapi ke dunia,” kata Gita.
Visinema menunjuk Taufan Adryan sebagai produser, dengan skenario ditulis oleh penulis peraih Piala Citra Ifan Ismail, dan melibatkan sejarawan terkemuka Peter Carey sebagai konsultan sejarah. Carey juga dikenal sebagai penulis buku The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855.
“Perang Diponegoro adalah salah satu episode paling esensial dalam sejarah Asia Tenggara, karena ini merupakan titik balik dari gerakan anti-kolonialisme. Tetapi belum pernah diangkat menjadi film dalam skala yang layak secara sinematik,” ujar Carey.
Carey menambahkan, film ini bisa menghidupkan kembali esensi dari Pangeran Diponegoro: seorang pemimpin berani dan memiliki idealisme dan spiritual tinggi. "Dia juga seorang panglima perang, dan simbol awal kesadaran anti-kolonial. Saya percaya kisah ini akan sangat relevan untuk generasi sekarang, tidak hanya di Indonesia tapi juga lensa global," katanya.
Pengumuman proyek Perang Jawa ini bertepatan dengan peringatan 200 tahun dimulainya Perang Diponegoro yang terjadi pada 20 Juli 1825, menyusul konflik atas pembangunan jalan oleh pemerintah kolonial di atas tanah leluhur sang pangeran. Konflik ini kemudian berkembang menjadi salah satu peperangan paling menentukan dalam sejarah kolonialisme di kawasan.
Carey menambahkan, warisan Diponegoro tak hanya hadir dalam perjuangannya, tetapi juga dalam catatan sejarah yang ia tinggalkan. “Diponegoro adalah salah satu pencerita paling hebat karena mampu mendikte dan menulis sekitar 1.100 halaman kertas folio saat di pengasingan, yang kemudian diterbitkan menjadi Babad Diponegoro,” kata dia.
Langkah Visinema ini mempertegas posisinya sebagai rumah produksi yang konsisten mengambil pendekatan sinematik berskala besar dan berani mendobrak batas genre. Sebelumnya, studio ini telah mencetak rekor dengan Jumbo, memperkenalkan genre heist lewat Mencuri Raden Saleh, dan menelurkan film laga 13 Bom di Jakarta—semuanya disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko.