Jakarta, FORTUNE - Akhir pekan di pusat perbelanjaan di Jakarta memang selalu ramai, tapi kali ini mata saya tertuju pada satu sudut: gerai Foot Locker di Pondok Indah Mall. Di antara deretan rak sneakers yang berderet rapi, sekelompok anak muda berdiri di depan cermin besar, memotret diri dengan ponsel, mencoba hoodie hitam yang baru saja mereka ambil dari gantungan. Lampu toko yang hangat membuat warna kian hidup, seolah siap mendukung gambar yang diabadikan untuk diunggah ke Instagram mereka.
Pemandangan ini kian lazim saya temui. Gandaria City, AEON, Trans Studio Mall, dan berbagai pusat perbelanjaan—semua punya kisah serupa. Di saat department store mulai mengecil, bahkan tutup, justru gerai sportwear yang dipenuhi pembeli. Sport Station dipadati pengunjung yang melihat-lihat rak baju dryfit, Decathlon ramai dengan keluarga yang mencoba sepatu hiking hingga trail running, sementara kantong belanja berlogo brand olahraga dunia melintas di setiap eskalator.
Bukan kebetulan, kata Yuswohady, Managing Partner Inventure dan pakar pemasaran. “Tren ini adalah buah dari ledakan athleisure atau athletic leisure,” ujarnya, Senin (8/11). “Busana olahraga kini dipakai bukan cuma saat olahraga. Ia sudah menjadi identitas sosial, simbol kelas menengah urban yang aktif, sehat, dan global-minded," katanya.
Lima tahun terakhir, terutama pasca-pandemi, masyarakat perkotaan di Indonesia mengalami pergeseran gaya hidup. Aktivitas seperti lari, bersepeda, tenis, hiking, hingga padel kini meluas, tak lagi terbatas pada atlet atau komunitas niche. Generasi muda dan kelas menengah urban memasukkannya ke dalam agenda mingguan, sering kali untuk alasan yang sama banyaknya antara kesehatan dan pergaulan.
Yuswohady menjelaskan, “Olahraga hari ini bukan lagi aktivitas pribadi. Ia sudah jadi aktivitas sosial, bahkan konten digital. Saat orang ikut Sunday cycling atau running club, mereka ingin terlihat modis dan nyaman, sekaligus punya cerita visual untuk dibagikan.”