Jakarta, FORTUNE - Ketika harga kakao dunia melonjak drastis akibat cuaca ekstrem di Afrika Barat, industri cokelat global pun terguncang. Namun di tengah gejolak itu, justru para pemain di segmen premium yang tersenyum lebar.
Harga biji kakao sempat meroket hingga tiga kali lipat, memecahkan rekor US$12.000 per ton pada Desember sebelum melandai ke kisaran US$8.500. Kenaikan ekstrem ini membuat produsen cokelat massal kelimpungan. Perusahaan besar seperti Hershey’s dan Mondelēz—yang dikenal lewat Oreo—mengalami penurunan volume penjualan sepanjang 2024. Divisi permen Nestlé, pemilik KitKat, juga melaporkan kinerja yang melemah.
Namun, produsen cokelat premium tampak berjalan di jalur berbeda. Dengan margin keuntungan yang lebih besar dan pelanggan yang lebih setia pada kualitas, mereka justru menikmati peningkatan permintaan. Di tengah tekanan ekonomi, konsumen cenderung berpikir ulang sebelum membeli. Tapi bukan berarti mereka memilih yang paling murah.
"Kalau harga Mars bar sudah setinggi ini, orang akan berpikir, 'lebih baik sekalian naik kelas'," ujar Daniele Ferrero, CEO Venchi, produsen cokelat asal Italia, mengutip Financial Times (21/4). Ia menyontohkan, telur Paskah Chocoviar Stracciatella yang dijual seharga €44 di Italia dan £54 di Inggris tetap diminati.
Pernyataan Ferrero seolah mencerminkan pergeseran selera konsumen yang mulai menghindari cokelat massal yang kian mahal namun menurun kualitasnya. Menurut Giacomo Biviano, pimpinan Domori yang membawahi merek Rococo dan Prestat, kondisi ini justru membuka peluang. "Bahkan produk berkualitas rendah pun kini memiliki harga yang sangat tinggi, jadi konsumen akan memilih yang terbaik," katanya.
Cerita keberhasilan juga datang dari Belgia. Di bawah perusahaan Compagnie du Bois Sauvage, merek-merek seperti Neuhaus, Jeff de Bruges, Corné Port-Royal, dan Artista mencatat pertumbuhan penjualan stabil. Sementara Läderach, produsen asal Swiss, berhasil menggandakan skala bisnisnya dalam lima tahun terakhir.