Jakarta, FORTUNE - Generasi pembeli baru di Asia Tenggara mendorong perubahan besar dalam industri fesyen. Kini, konsumen semakin memprioritaskan etika dibandingkan produksi massal, mendorong para desainer di kawasan ini untuk menjawab tuntutan akan mode berkelanjutan.
Selama ini dikenal sebagai pusat manufaktur fesyen cepat (fast fashion), Asia Tenggara kini bergeser dari fokus pada kuantitas ke nilai keberlanjutan. Di Singapura, pasar barang mewah dimanfaatkan untuk mendorong inovasi ramah lingkungan. Sementara itu, di Thailand, merek-merek independen menghidupkan kembali kerajinan lokal melalui pendekatan slow fashion.
Menurut laporan Thai Cyclopaedia tahun 2024, industri tekstil global menyumbang hingga 10 persen dari emisi karbon dunia dan 20% dari limbah air. “Konsumen kini bertanya dari mana dan bagaimana pakaian mereka dibuat,” ujar Allie Cameron, pendiri merek pakaian dalam berkelanjutan Hara, mengutip Jing Daily (27/5)
Berbeda dari negara produsen besar lainnya, Singapura membangun reputasi sebagai pusat fesyen mewah dan inovatif. Pemerintah dan lembaga industri seperti Singapore Fashion Council aktif membentuk ekosistem fesyen yang lebih hijau. Program seperti Fashion Sustainability Programme dan Zero Fashion Waste Initiative mempertemukan berbagai pemangku kepentingan untuk mengembangkan solusi dari hulu ke hilir.
Data Badan Lingkungan Nasional Singapura mencatat produksi limbah tekstil dan kulit mencapai 211.000 ton pada 2023, namun hanya 2 persen yang didaur ulang. Meski begitu, proyeksi nilai industri fesyen negara ini diperkirakan mencapai US$2,5 miliar pada 2027.
Tren konsumsi pun berubah. Sebanyak 60 persen warga Singapura kini memilih merek berkelanjutan. “Konsumen muda memimpin perubahan ini. Mereka menghargai kejujuran dan etika, tak hanya estetika,” kata Kimberley Tan, pendiri label loungewear ramah lingkungan The Mori Club.